[H-12] Dunia Baru

278 37 0
                                    

Aku selalu ditarik untuk masuk dan mengenal masalah itu. Aku bisa apa?

OoO

Pada saat itu, duniaku kembali berubah. Setelah turun berdua dengan Fino, lorong sekolah menjadi gaduh, mereka berlomba saling memprotes, hingga satu kejadian tak masuk akal menerjang langkahku. Kala kaki ini terhenti lalu memberi senyum, mereka berdecak kesal dan berlalu begitu saja.

Hari di mana aku menemukan Fino, hari yang sama saat aku mengakhiri persahabatan palsu ini. Duniaku menjadi lebih suram.

Bugh...

Lelehan dingin berwarna putih meluncur bebas di kepalaku, tetesannya mengenai roti yang sedang kugenggam, mereka semua tertawa, tertawa setelah berhasil melempar satu susu kotak utuh tepat ke arahku.

Ya, aku mulai menyadari satu hal, saat-saat bersama Agnes, Tiana dan Dimea, mereka semua tak akan berani mendekat. Kekuatan mereka, sumber kelemahanku. Sekarang, tiga orang yang sedikit menyunggingkan senyum, terlihat sangat santai. Apa yang terjadi saat aku ke atap dan bertemu dengan Fino?

"Ula, ayo pergi aja, jangan di sini terus. Mereka pasti nyerang lo."

Jeko berteriak sambil menghadang beberapa sampah yang mulai tergeletak di meja, bodoh. Bagaimana cara hantu menepisnya, tubuh Jeko aja tembus pandang.

Tak...

Di hadapan sana, berjarak dua meja. Aku bersitatap sebentar dengan Fino, setelahnya laki-laki itu meneruskan makan tanpa beban dari gurat wajahnya. Pedih sekali tak dipedulikan begini. Aku bergumam.

"Lo boleh deket sama siapa aja, berandalan mana aja di sekolah kita. Tapi jangan pernah dekati Fino. Dia anak baik-baik, sialan! Dia ketua kelas, dan dia juga kesayangan semua guru!"

Berisik sekali. Andai aja dia tahu kalau Fino bukanlah Fino yang sebenarnya, apa dia akan bertingkah begini. Kutatap mata gadis cantik yang selalu memoles pipinya dengan bedak tebal, tampak amarah yang sama sekali tak kumengerti. Apa mereka pacaran?

"Heboh banget si anjing. Lo siapa emang? Lagian si ketua itu gak baik juga kok, di atap tadi malah ngerokok!"

"Urus diri sendiri lebih baik daripada mengurus kehidupan orang lain! Apa waktu lo terlalu banyak sampai-sampai mikirin tentang ketua kelas kesayangan guru itu-"

Grep...

"ALULA!"

Wajahku tersembunyi di kedua lengan saat dia mengangkat jemari hendak memukul, tapi keributan yang terdengar membuatku perlahan membukanya. Lihatlah pahlawan yang sekarang berdiri di depanku, pahlawan yang selalu dibangga-banggakan banyak orang ini membela satu sampah sepertiku, terlebih saat cengkraman tangannya menguat untuk gadis yang sedari tadi berteriak.

"Gue gak pernah minta lo untuk mukul orang-orang yang berada di dekat gue, Bita! Dan gue juga gak pernah memberikan pengumuman siapa yang berhak gue dekati dan enggak. Kenapa lo bersikap memuakkan kek gini. Lo bikin gue malu."

Itulah Fino. Kalian dengar, itu dia. Semua di sana pasti punya telinga untuk mendengar, dan mereka yang sekarang diam pasti juga paham tanpa perlu diulangi oleh Fino.

"F-fino. Dia gadis yang gak baik, semua orang tahu-"

"Gue juga gak baik. Apa semua orang tahu?"

"Dia keren juga, Ula."

Aku setuju, entah kapan terakhir kali aku mendengar jawaban setegas ini. Dia bahkan tak mau berpura-pura agar imagenya terjaga, dia terang-terangan bilang kalau sebenarnya dia dua orang yang berbeda.

"Jangan sok tahu, lo juga belum tentu baik dan semua orang juga gak tau lo kek gimana."

"Fino. Lo kok jahat sih."

"Terus gak masalah kalau lo jahatin orang?"

"Fin-"

"Udahlah!" setegas pembicaraan Fino bersama dengan genggamannya di lenganku, dia tarik untuk mengikuti dirinya dari belakang. Wah, haruskah aku merasa seperti tokoh utama di dalam cerita sekarang ini?

"Lepas, bangsat!"

Sentakan itu berhasil melepasnya. Aku menatap Fino dalam dan cukup teliti. Mataku menyipit, kakiku terangkat sebab dia jauh lebih tinggi dariku.

"Lo pura-pura, kan. Bangsat!"

"Mulut lo gak pernah di sekolahin?"

"Enggak," aku menggeleng, kualihkan pandangan pada Jeko yang sedari tadi terkekeh membuatku kesal. "Diam setan. Lo gak usah ikut campur!"

"Kenapa marah-marah sih, lo seharusnya berterima kasih karena udah dibantu. Goblok!"

"Gue benci dikasihani. Gue benci."

"Dia ngomong apa? Dari tadi bibirnya gerak, tapi gue gak dengar dia ngomong apa?"

"Gak usah dengar, anjing, lo gak berhak dengar apa yang gue omongin sama Ula!"

Aku menunjuk Jeko. "Dia setan yang mulutnya juga tak pernah di sekolahin. Dari tadi dia bilang lo anjing."

"Sebelum jadi setan pun, dia gak pernah diajari, bukan?"

"Iya juga."

Fino diam, aku dan Jeko ikut-ikutan. Hanya beberapa menit setelah hening, Fino melipat lengan memperhatikan.

"Lo gak bawa baju olahraga?"

Deg...

"Kok dia tahu kalau lo selalu bawa baju olahraga, Ula? Apa jangan-jangan selama ini dia perhatiin lo pas dibully?"

"Kenapa tiba-tiba lo bahas baju olahraga?"

"Karena seragam lo udah gak layak pakai. Baunya juga amis."

"Maksud gue. Lo tahu kan setiap kali gue dibully gue selalu menyiapkan baju olahraga. Lo selalu tahu saat-saat seperti itu, ya? Kenapa diam aja sebagai ketua kelas?"

"Semua orang tahu, dan mereka juga diam, kan?"

Benar, apa hakku memaksa Fino membantu seorang yang sedang dibully, toh aku juga tak pernah memohon untuk bantuan darinya, dan perkara dia...

"Lo kan ketua kelas, lo harusnya punya tanggung jawab untuk membereskan semua masalah ini agar tak membuat sekolah buruk, kan?"

"Ada beberapa tahapan Alula, agar tanggung jawab yang lo maksud bisa gue jalanin. Yang pertama permintaan tolong. Selama tak ada kata-kata itu, gue gak bisa membantu lo."

"Ha, lucu sekali," aku tergelak di sana. "Terus kalau lo melihat orang kecelakaan di jalanan, lo bakalan diam aja?"

"Tergantung kondisi. Setiap orang pasti merasakan sakit, bisa bertahan lalu berada pada titik menyerah. Saat-saat terkahir itu bibirnya akan merespon permintaan tolong lebih cepat, itulah tahap-tahap normalnya. Berbeda dengan kecelakaan yang menyebabkan korban itu pingsan di tempat, rasa tanggung jawab seseorang akan datang tanpa perlu diminta," Fino mendekati tubuhnya sejengkal denganku. "Lo punya mulut untuk memaki mereka, mata yang nyalang untuk menakuti. Tapi kenapa tak pernah mengucapkan tolong saat lo berada pada batas terakhir? Sebutkan alasannya?"

"Benci dikasihani?"

Deru napasku memburu tak teratur, pertanyaan terakhir dari Fino adalah kelemahanku. Aku benci dikasihani.

"Satu lagi yang gue lupa. Di sekolah, ada beberapa peraturan yang tak perlu lo langgar. Melihat dan diam, lebih baik daripada ikut campur lalu berakhir dengan sebuah bencana. Lo lupa Alula, lo terlalu ikut campur sehingga akhirnya lo tersiksa sendirian. Ulah sendiri, tak usah menyalahkan orang lain."

Aku tak pernah ikut campur urusan orang lain. Aku tak ingin terlibat dengan semua kerumitan seseorang. Tapi aku ditarik untuk masuk ke dalam masalah itu, aku dipaksa untuk mengenal masalahnya.

Aku bisa apa?

OoO

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang