[H-7] Dekapan Pengganti

296 34 0
                                    

Ada beberapa pertanyaan yang memang harus ditanyakan tanpa ada jawabannya. Kenapa mati?

OoO

Apakah orang yang terlahir dalam kehidupan toxic, akan bertemu dengan orang-orang toxic? Seperti aku yang tak pernah bertemu ketenangan. Mereka-mereka itu, bermuka mengerikan.

Dua langkah dari kakiku, senyum mereka terpancar penuh kebencian, sebagian dari mereka terlihat menyedihkan. Entah seperti apa, yang jelas seperti diriku.

"Boleh minta satu rokok, lo."

"Lo ngomong sama siapa?"

"Hari ini gue gak ngerokok."

"Fino? Sejak kapan dia datang? Kok lo tahu Ula?"

Hembusan angin mendatangkan parfum Fino meski jauh sebelum dia menginjakan kaki pada atap sekolah. Meski tak terdengar langkahnya, aku bisa merasakan kehadiran seseorang. Keahlian orang yang suka menyendiri, selalu tahu setiap kali ada yang datang. Di dekatnya mau pun kehidupannya.

"Gue jadi takut atap sekolah ini akan jadi ajang bunuh diri. Karena setiap saat lo selalu ke sini."

"Bunuh diri? Di sini?" aku menoleh pada Fino yang meletakan lengannya di pembatas tembok. "Kalau kemungkinan matinya seratus persen, mungkin gue udah lompat dari minggu-minggu yang lalu."

"Kenapa lo gak yakin mati dari sini?"

"Gak terlalu tinggi. Kalau gue mau mati, gue akan milih gedung di tempat Dion bekerja."

"Ternyata sudah terencana, tinggal menunggu aksinya aja."

"Gak usah ngomong kek gitu sama orang yang putus asa Fino. Gila lo!"

Dulu aku selalu ingin mati, setiap hembusan napas yang terbuang, setiap rasa sesak mengukung serta senyum sakit tertahan. Pikiranku hanya mati, mati dan mati. Tapi kali ini rasanya lelah sekali. Berisik sekali. Menyebalkan.

"Fino. Lo mau bawa gue jalan-jalan?"

"Ke mana?"

"Pantai."

Jeko menatapku, sedangkan aku memperhatikan Fino yang masih melihat ke depan, jalanan dari atas tak terlalu berisik.

"Lo mau jalan-jalan atau mau liburan?" dia menoleh padaku.

"Di pantai juga bisa jalan-jalan, kan?"

"Atas dasar apa gue membawa lo ke sana? Lagian, gue gak mau berurusan sama laki-laki kemarin, malas."

"Permintaan terakhir. Anggap permintaan terakhir dari gue, setelah itu gue gak akan lagi ganggu lo. Dan masalah Dion, lo tenang aja, gue bisa bilang untuk gak usah jemput hari ini. Dia penurut kok."

"Alula... Lo beneran mau bunuh diri?"

Menggeleng, yang harus aku lakukan. Tapi tubuh ini membeku ditatap begitu intens oleh Fino begitu juga Jeko.

"Fin-"

"Gue cuma bercanda. Mana mungkin orang kek lo bunuh diri."

"Iya."

"Kenapa harus pantai. Menurut gue berdiri di jembatan layang lebih seru, apa lagi kalau sore menuju malam."

"Gue... Gue mau menghapus kenangan buruk menjadi kenangan indah tentang pantai."

"Seburuk apa?"

Ini tentang Jeko, mau seburuk apa pun aku ingin mengubahnya menjadi tak lagi buruk. Semua harus tuntas, semua harus selesai. Sebentar lagi waktu yang tersisa, jika kehilangan Jeko sekali lagi dengan kisah sakit ikut bersamanya, sia-sia 30 hari yang Jeko minta. Aku hanya benci, bukan pendendam.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang