[H-19] Cangkang Kosong

383 39 0
                                    

Di mana perempuan penghuni surga itu bersembunyi, kapan dia membawakan seseorang untuk membantu jalan hidupku. Perempuan yang katanya penyayang dan penuh kasih.

OoO

Satu tetes tangis yang terjatuh, seperti luapan bara api begitu perih. Mencair tenagaku dalam bayang-bayang perempuan itu, perempuan yang isakannya selalu terdengar meski raganya sulit untuk kugapai.

"Maafkan Ibu. Maafkan Ibu."

Entah untuk ke berapa kalinya kesenduan milik perempuan bersurai panjang di hadapanku berucap, netranya tersorot penuh penyesalan. Mutiara bening terhias sempurna, apa aku mengenalnya? Atau, apa dia mengenalku?

"Lo bilang mau mati? Andai aja lo paham perasaan gue yang mau hidup lebih lama setelah mati, gue yakin lo gak bakalan ngomong kek tadi? Ah sial, gue pengen hidup sialan!"

"Bagaimana kalau kita bertukar tempat aja, lo yang hidup menggantikan gue, dan gue yang mati menggantikan lo."

"Manusia satu ini benar-benar gila!"

Gila katanya. Andai saja Jeko tahu seperti apa kegilaan yang pernah dia torehkan pada hidupku, mungkinkah Jeko bisa dengan gampang menyebutkan satu kata itu.

"Dia. Lo mau dia? Ambil!"

Jemari kuat itu melilit erat lenganku, surai berantakan memenuhi wajah yang sebagian menghijau akibat beberapa pukulan dari Jeko. Aku menunduk tak mau mengangkat wajah pada para bajingan di hadapan sana, mereka memegang besi dan juga kayu untuk dipukulkan, entah pada tubuh ini atau tubuhnya, sayang sekali tarikan kuat membuatku terhenti di depan, dia pegang kedua bahuku menyuruh mengangkat muka.

"Mau pukul dia? Pukul aja."

Masih kuingat gelak tawanya, masih kuingat cengkram kuat jari-jarinya, masih kuingat hembusan kasar napasnya, masih kuingat teriakan sakit dari penuturan Jeko.

"Kenapa gak berani? Apa karena dia seorang perempuan?"

"Lo memang sampah Jeko! Ini urusan lo sama gue, jadi biarkan cewek lo pergi."

"Dia bukan cewek gue! Dia anak perempuan jalang yang merusak mental Mama gue!"

Aku saja tak mengenal siapa perempuan yang telah melahirkanku, aku saja tak pernah bertemu bahkan bertatap muka dengannya. Aku saja tak pernah melihat raut wajahnya. Aku saja... Tak pernah membayangkan mempunyai seorang Ibu di dunia ini hingga sekarang.

Lalu apa maksud dari menghancurkan mental Mamanya? Entah Jeko benar mengetahui segalanya tentangku atau dia, hanya sedang membuat cerita.

"Kalau gue masih punya kesempatan, apa bisa lo mengantarkan gue ketemu seorang jalang yang lo maksud, Jeko. Jalang yang telah menghancurkan keluarga serta mental mama lo, jalang yang telah melahirkan gue?"

Bugh...

Aku memandang wajahnya, semakin dalam semakin tak kutemui jawaban yang pas. Dia masih terdiam di atas kasur, mendongak memandangi dengan kerutan tak biasa.

"Kenapa?"

"Gue mengingatnya."

"Apa?"

"Lo! Dan semua perilaku sampah lo sama gue."

Aku mendekat untuk duduk di samping arwah Jeko, kutarik sebagian baju tidur untuk menyingkapi paha, goresan yang terlihat mengerikan ditatap oleh Jeko penuh pertanyaan.

"Ini ulah lo," ucapku sembari mengangkat jemari untuk membuka beberapa helai rambut memperlihatkan dahiku padanya. "Ini juga," aku mendongak menatap langit-langit, menyuruh dia untuk memandang lipatan leherku padanya. "Luka sayatan ini, juga karena lo, Jeko."

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang