Ada masa-masa kehidupan lebih sakit daripada neraka. Entahlah, neraka saja belum pernah kutemui.
OoO
"Pake jaket gue," aku mendongak, lalu mengangguk. "Gak mau masuk? Lo mau bolos?"
Jika tak punya rumah untuk tempat pelarian, aku masih punya gudang usang berdebu yang bisa kusinggahi. Cukup duduk, menekuk lutut lalu menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan, sudah sangat membantu meredakan segala detak yang menghunjam menyakiti.
Jeko di sampingku, dia gelisah dan aku tahu itu.
"Lo mau bolos?" Fino mengulang pertanyaannya yang belum sempat kujawab. "Jawab gue! Sejak kapan mulut gak sekolah tadi jadi diam?"
"Lo boleh pergi, dan terima kasih jaketnya. Besok gue kembaliin."
Saat-saat sorotku terfokus pada dinding, hembusan angin menerpa bahuku. Laki-laki di sana ikut duduk lalu menjatuhkan satu kakinya.
"Gak dosa kalau minta tolong sama seseorang-"
"Gak ada Fino. Gak ada yang bisa gue mintai tolong," aku menoleh padanya. Tenagaku melemah setelah dihunjam beberapa kalimat dari laki-laki sok ini, semulanya aku ingin memaki karena dia menjadi pahlawan kesiangan untukku, seperti Dion, aku membenci orang-orang itu.
"Apa lo pikir gue teriak meminta tolong ada yang akan datang lalu melerainya? Yang ada mereka malah tertawa."
"Gue. Apa gue juga termasuk ke dalam orang-orang itu?"
"Gak usah banyak bacot, lo aja kemarin gak keliatan batang hidungnya!"
"Jangan dipercaya Alula, firasat gue gak enak tentang ketua kelas ini. Dia punya maksud tertentu pasti nih."
Sejenak, ucapan Jeko ada benarnya, sekilas perkataan Fino membuatku tak berkutik. Karena beberapa jam yang lalu, dia membuktikan dengan cara menjadi seorang pahlawan. Jika Fino takut aku membocorkan tentang dia yang merokok di atap bukankah itu aneh. Siapa juga percaya dengan pengakuan orang sepertiku. Menyebalkan.
"Fino. Lo gak akan tahu kehidupan seperti apa yang gue jalanin. Dan gue juga gak bisa menjelaskannya sama lo, rasanya lucu. Tapi ada beberapa hal yang harus gue bilang, sendiri. Maksud gue, mencoba ngelakuin sendiri tanpa melibatkan orang lain, gue pengen kek gitu. Bukan karena gue mampu melakukan segalanya, tapi gue gak mau bergantung pada orang lain lalu orang itu memanfaatkannya."
"Kadang pikiran lain juga muncul. Seperti, gue gak perlu membantu mereka karena gue gak pernah meminta bantuannya. Dari dulu gue selalu takut ada orang yang menjadi pahlawan, karena dia selalu meminta imbalan lebih dari yang gue mampu.
"Gak ada yang kek gitu, Alula."
"Ada!"
"Si Dion. Lo gak tahu kan, makanya jangan sok keren jadi orang!"
"Kalau gak ada, mana mungkin sikap gue kek gini," ucapku pada Fino, laki-laki itu membisu.
Aku mengibaskan jemariku pada Fino. "Lo masuk aja, masa ketua kelas bolos."
"Telat. Jam belajar udah jalan dari tadi."
"Terus?"
Kami bersitatap, dua detik, tiga hingga lebih dari sepuluh detik, kami membatu di tempat.
"Mata penuh harapan."
"Ha?"
"Mata lo cantik."
Jantungku berdetak tak karuan, pertama kali dalam hidup ada yang memuji salah satu bagian dalam tubuhku, terlebih di bagian mata yang setiap harinya memancarkan kesakitan. Sebenarnya, aku ingin tertawa, tapi rasa senang membungkamnya.
"Bajingan nih Fino. Gak usah kebawa perasaan Ula, dia pasti bohong. Mana ada mata lo cantik, orang gue sering liatin tiap hari kok.
"Penilaian lo bagus. Jeko sering bilang kalau mata gue cantik."
"Hah? Kapan? Gak usah ngarang deh lo. Enggak kok, sejak kapan gue ngeliat mata lo cantik, banyak beleknya iya."
"Jeko?" tatapan Fino teralih. "Gue risih ngeliat dia setiap hari nempel sama lo, sebenarnya dia mau apa sih?"
"Cuma 30 hari."
"Ngapain lo ngasih tahu dia. Ini rahasia kita berdua goblok!"
"Kenapa dengan 30 hari?"
"Katanya dia mau gue 30 hari."
"Duh, goblok banget sih! Gue bilang gak usah dibilang, ya gak usah-"
"Sebenarnya. Apa lo mencintai orang itu?"
Jeko dan aku sama-sama membungkam mulut, pertanyaan Fino membuat lidahku kelu. Apa ini? Kenapa aku seperti ini?
"Kenapa diam? Apa selama kalian pacaran, itu beneran atau cuma pura-pura?"
"Pura-pura," jawabanku berhasil membuat Jeko membisu total. Dia juga menunduk dan berjarak sedikit jauh. Entah perasaanku saja atau memang Jeko merenggang dariku.
"Udah gue duga."
"Kelihatan banget ya?"
"Jeko preman yang gak pernah tertarik sama gadis-gadis cantik bisa jatuh cinta sama gadis biasa aja kayak lo, pasti sebuah kebetulan yang aneh, kan?"
Rasanya asap di atas kepalaku mulai menampakan wujudnya. Tadi Fino bilang mataku cantik sehingga rasanya aku melayang ke langit paling tinggi, tapi beberapa detik yang lalu dia bilang kalau aku gadis biasa aja. Selain Dion dan Jeko, rupanya Fino yang paling psikopat.
"Lo gak serius ngomong gitu, kan?"
"Gue serius."
Hembusan napasku terbuang kasar. Sedangkan Jeko masih bergeming tak mau ikut campur.
"Oh iya, ada satu hal yang perlu lo tahu. Gue pernah dengar Jeko menelfon seseorang di atap, dia bilang. 'Bukan Alula anak dari jalang itu'. Apa maksudnya?"
Jeko melihat saat aku mengalihkan pandang, dia sedikit kebingungan, jelas, Jeko masih belum mengingat apa-apa. Tapi tentang bukan aku anak yang dimaksud Jeko.
"Kapan lo dengarnya, Fino?"
"Gue lupa tanggal berapa. Tapi itu terjadi setelah kalian mengumumkan untuk pacaran, atau dua hari setelah kalian resmi pacaran."
Itu... Saat-saat Jeko menyakitiku tanpa ampun. Saat-saat Jeko menggores pahaku dengan pisau, saat-saat Jeko menarik rambutku kuat seakan tercabut dari kepala. Saat kehidupan jauh lebih sakit daripada neraka yang selama ini kuterima.
Saat... Yang benar-benar memilukan.
"Sesak," dada ini terasa menyesakan. "Sesak sekali, Fin."
"Lo gak papa? Kita ke UKS sekarang."
"Enggak. Gak papa, di sini aja."
"Alula. Apa yang sebenarnya gue lakuin sama lo? Sebesar apa dosa gue sama lo? Hiks, tolong katakan, katakan semuanya yang lo tahu Alula. Setiap ada beberapa kejadian yang lo alami, kenapa rasanya dada gue sakit, sekarang rasanya sangat sakit."
"Sakit... Dada gue juga sakit, Jeko. Rasanya ngilu."
"Gak bisa, naik ke punggung gue, kita harus ke UKS sekarang!"
Fino berteriak padaku, dia juga menarik lenganku tapi selalu kutepis. Enggak, aku benci tempat-tempat seperti itu. Aku benci.
"Gak mau."
"Jangan bodoh, Ula! Lo bisa mati di sini. Ayo naik, gue mohon. AYO!"
"Enggak."
"Alula-"
"P-peluk. Peluk gue sebentar aja, peluk gue-"
Grep...
"Apa pun yang bisa membuat lo sembuh, gue lakuin."
Hangat, aku bergumam lirih, pelukan Fino hangat. Harum parfumnya bermain di hidungku, dekapan Fino menguat dan semakin menguat sedangkan suara Jeko tak lagi kudengar, bahkan aroma tubuh Jeko tak lagi bisa kucium, dia tak ada di sampingku, dia tak ada di sana.
"Jeko... Jangan pergi, jangan tinggalin gue."
OoO
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"