[H-9] Diikat Noda

290 37 0
                                    

Obsesi atau pun apa namanya, tak masalah. Yang penting katanya, mengikatku.

OoO

Tetesan air membasahi seluruh tubuhku, terhanyut bersama rasa hangat yang menyegarkan. Noda ini, harus aku bersihkan, jika besok datang lagi maka akan aku bersihkan sekali lagi. Setidaknya ini lebih baik daripada bekas luka yang tak akan pernah habis maupun hilang.

Mataku jatuh pada kedua paha putih tak terbalut apa pun, tepat pada atas lututku, goresan panjang masih terukir di sana, membayangkan betapa sakitnya waktu itu, aku sudah tak sanggup lagi. Tetesan tangis, teriakan pilu, hingga permohonan berhenti. Dihiraukan olehnya, dia masih tertawa dengan seringaian yang ingin sekali kuhancurkan.

Dan lihatlah betapa bodohnya diri ini. Setelah semua kepedihan yang aku lalui, rasa rindu masih sempat-sempatnya menyeruak bahkan mencoba untuk mencari kehadirannya.

"Hai. Alula."

Gerak tanganku terhenti, rambut yang terjuntai membasahi lantai kamar. Aku menatap lekat-lekat dirinya yang duduk di kasur, penglihatan yang sayu, serta senyum tipis menyedihkan.

"Lo bukan Jeko," aktivitas mengeringkan rambut kuulang lagi. Duduk di meja rias memandangi orang yang tak ada di dalam kaca. "Dari mana aja lo? Dari tadi menghilang."

"Hati gue sakit. Padahal gue udah mati, tapi kenapa rasanya sesak, ya? Masa arwah bisa kena penyakit sih?"

"Mana gue tahu."

"Alula. Rasa sakitnya sepuluh kali lipat saat lo ciuman sama Dion dibandingkan lo ngomong cuma pacar pura-pura kepada Fino."

Ternyata benar, yang kulihat tadi benar Jeko. Aku memutar arah tatapan, padanya. "Ngapain lo ngintip orang ciuman?"

"Lagian, kenapa harus sama Dion? Lo sepupunya kan?"

"Entahlah. Gue bahkan gak merasa punya hubungan dengan keluarganya. Bukti foto kalau Ibu gue adek Ayahnya pun, gak ada. Semua hanya omong kosong yang tak bisa dipercaya."

"Kenapa membalas ciumnya, Alula?"

Haruskah aku menjawabnya? Bagian dalam relung hatiku berbisik, dia mengatakan untuk lakukan saja, sebab, ragaku bergetar.

"Alula. Gue masuk."

"Jangan, jangan biarkan laki-laki itu masuk. Dia bahaya!"

"Alula!"

"Lo habis mandi?"

Aku bangun dari duduk, ketakutan Jeko sama halnya dengan ketakutanku. Masih sama, hatiku masih membisikkannya. Raga ini tak akan mampu mencegah Dion. Raga ini semakin hari semakin menumpukan kelemahan.

"Ada apa?"

"Siapa yang membully lo di sekolah? Beritahu gue."

Dia memang berdiri di depan pintu kamar yang sedang tertutup, tapi kenapa tegakku segamang ini. Lari pun rasanya akan sangat sulit kalau tiba-tiba Dion menyerang. Meski ada Jeko di sini, arwah bisa apa.

"Gak hanya satu atau dua orang. Tapi hampir sebagian murid."

"Gue bisa bilang sama kepala sekolah-"

"Gak usah Dion. Gue udah biasa hidup kek gitu di sekolah. Lambat laun mereka juga bakalan capek sendiri."

"Apa karena ada laki-laki yang kemarin makanya lo ngomong kek gini?"

Dion mendekat, semakin mendekat lalu duduk di atas kasurku. Kakiku menempel di lantai, beruntung tadi aku tak duduk di sana, sehingga berhadapan seperti ini jauh lebih baik.

Asal kamu tahu, berdua di dalam kamar dengan laki-laki yang bisa kapan saja memperkosaku, aku trauma akan hal itu. Teringat pertama kalinya dia memaksa, teringat pertama kali isak mendominasi ruangan besar itu, teringat kesakitan yang tak akan pernah sembuh.

Hari-hari saat Jeko hadir di kamar ini meski dalam keadaan tak bisa menyentuhku, masih menjadi trauma paling besar yang tak akan bisa kuhapus.

"Fino gak ada hubungannya sama ini. Dia hanya ketua kelas yang sama sekali gak akan bertanggung jawab tentang gue. Dia punya nama di sekolah, dan dia gak akan melibatkan dirinya ke dalam masalah gue."

"Lo yakin. Gue justru ngeliat tatapan lain dari matanya."

"Gak usah berteori, Dion."

"Gue lihat-lihat, lo gak gemetaran lagi saat gue masuk ke kamar ini. Trauma lo udah hilang?"

"Trauma? Trauma apa, Ula? Dia ngapain lo?"

"Si Jeko bangsat itu. Dia udah merampas keperawanan lo di rumahnya kan, makanya lo takut setiap kali gue ingin masuk ke sini. Lo selalu teriak setiap kali gue mencoba untuk masuk. Untunglah dia udah mati. Orang gila kek gitu udah sepantasnya mati mengenaskan."

Dion seolah tahu segala hal dari diriku. Dia seperti meletakan perekam yang tersembunyi dalam ragaku.

"Alula... Benarkah? Jawab gue? JAWAB GUE ALULA."

Hembusan napasku menguat, jemari mulai bergetar sangat hebat. Ragaku melemah dan sesak mulai berdatangan. Tolong, dalam hening aku berteriak sangat kencang, tolong jangan katakan lagi, tolong jangan ingatkan lagi.

"Dion-"

"Lo kenapa? Ula?" dia mendekat, aku tak bisa menjauh darinya, tubuhku mulai melemah. Hingga saat sentuhan tangannya meraih pundakku, kaki ini tak sanggup lagi menopang tegak, jatuh yang langsung berada dalam pelukan Dion.

"Lo gak papa. Duduk dulu."

Jeko kembali berjarak. Dia menjauh sejauh mungkin dari hadapanku. Tetes tangis yang selama ini sering diperlihatkan Jeko, kali ini sepertinya terjatuh tanpa dia minta. Dia terus menatap tapi air jernih di sana juga terus jatuh.

"Gue noda hitam. Gue kotor. Gue sampah. Gue anak dari seorang jalang. Gue gak berguna dan gue anak haram," aku menoleh pada Dion yang tak menunjukan penyesalan dari ingatan sakit yang berasal dari ucapannya. "Maka dari itu jauh-jauh dari gue, Dion. Tinggalin gue sendirian dan gak usah sok peduli atau berpura-pura untuk jatuh cinta sama gue! Apa lo ingat, semua kata-kata yang keluar dari mulut lo untuk gue, seperti sebuah neraka yang terus-menerus merusak!"

"Satu hal yang mau gue tanyain dan gue harap lo mau untuk menjawabnya. Satu lagi saja untuk yang terakhir kali. Apa benar gue sepupu lo? Apa benar gue anak dari perempuan itu, adik dari Ayah lo? Apa benar semua cerita yang pernah gue dengar dari Ibu?"

"Enggak."

Satu kata lalu hening. Satu kata lalu sunyi. Satu kata yang mengubahnya menjadi beribu-ribu sayatan sakit. Kenyataan, kenapa semua kenyataan yang kuterima begitu menyakitkan. Kenapa?

Aku gak menangis. Aku tak akan menangis. Kali ini aku lebih kuat dari dunia yang membuangku. Kali ini aku pemenangnya, aku tak mau jadi seorang pecundang.

Gak mau...

Tes..

Entah kenapa, isak tangis menghancurkan pertahananku. Isak tangis menjadi pengecut di hadapan masalah. Isak tangis selalu menyuruhku bersujud pada masalah.

"Kenapa lo mencintai gue, Dion?"

"Cinta? Apa itu cinta? Apa dari dulu lo percaya kalau gue bisa jatuh cinta?"

"Lalu kenapa lo ngelakuin hal kek gini sama gue! Kenapa lo mencium gadis yang gak bisa lo cintai? Kasian?"

"Gak tau. Gue gak punya alasan untuk itu. Yang gue pikirin hanya gadis pembangkang, gadis yang harus gue ikat kalau dia terus-terusan memberontak mau kabur. Gue harus memeluk tubuh lo setiap kali lo mau menghilang dari hadapan gue. Gue cuma mau ngeliat lo setiap hari. Ya, itu artinya lo harus jadi milik gue tanpa perlu ada rasa cinta, kan?"

"Itu hanya obsesi."

"Obsesi atau apa pun namanya. Gue cuma mau lo. Hanya lo!"

OoO

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang