[H-22] Peluk Aku

476 41 0
                                    

Peluk aku. Dua kata yang terus kukurung dalam benak. Tak akan aku sebutkan pada mereka, tak akan aku katakan meskipun kematian berada di depan mata.

OoO

Duniaku bergetar, pergerakannya mengencang dan tubuh lemah ini terguncang ke sana ke mari. Entah di mana aku sekarang, berada pada tahap mana sesudah kematian, apa telah selesai sesi tanya jawab? Aku tak mengingatnya sama sekali. Oh, atau aku langsung dijerumuskan ke dalam lembah neraka? Benar, itu hal yang paling benar.

Perlahan netra ini tersingkap, samar-samar kutangkap suara tangis dari atas, panggilan kecil namun, memekakkan. Mereka menyebut namaku berulang kali, kepala-kepala di atas sana, terus memanggil namaku sambil terisak. Ada apa?

"Ula. Hiks... Ula maafin gue."

Ah. Merdu sekali tangisan Jeko, andai saja aku bisa membuka mata sekarang, lalu mengusap lembut pipinya. Kejadian langka harus segera diabadikan, aku harus memotret dirinya diam-diam agar nanti bisa kutertawakan jika perasaannya telah membaik, tapi. Jeko tak pernah datang dengan keadaan sedang senang, dia selalu membawa muka suram kepadaku agar bisa melampiaskan amarah dan juga emosinya.

Aneh, aku bahagia jika Jeko benar-benar menangis. Tunggu.

"A-aku m-masih -hidup?"

"Dokter, pasien sudah siuman."

Derap langkah bergema, teriakan asing menyumbat telingaku. Sudah berapa lama aku terbaring? Apakah ini masih hari yang sama saat Greya memukul kuat tepat pada kepalaku. Enggak, seharusnya kesempatan untuk hidup sudah sangat rendah, lalu apa sekarang?

"Hai, Ula. Apa kamu bisa mendengar saya?"

Kedipan matamu, ayo lakukan perintah dari suara itu. Sedikit banyaknya, hanya kaca mata yang aku tangkap, beberapa menit setelah berlalu baru kutatap wajah pria dengan pakaian dokternya.

"Ula, apa masakan di rumah sakit ini enak? Kenapa lo terus-menerus datang dan terbaring di sini?"

"Banyak bacot. Lo hanya hantu!"

Tuhan tak benar-benar melihatku rupanya. Dia mengabaikan noda kecil yang saat ini sedang malas untuk bernapas. Padahal, kehilangan satu orang sepertiku tak akan meruntuhkan seperempat dunia. Entahlah, bagaimana caranya mati?

"Sayang, Ula. Hiks, kenapa bisa begini nak? Apa yang terjadi? Kenapa mereka menyakiti kamu, kenapa mereka menyakiti putri Ibu?"

"Ibu, tenangin diri Ibu dulu."

"Bagaimana bisa tenang, Dion! Putri Ibu dipukul sampai babak belur, mukanya bengkak, bibirnya robek. Gadis manis yang selalu indah dilihat, sekarang tampak menyedihkan. Kenapa Ya Tuhan."

Menyedihkan. Hah, sudah lama sekali aku tak mendengar kata-kata itu. Mengingatnya lagi semakin membuat darahku memburu, gadis itu menyedihkan sekali. Anak malang yang sangat menyedihkan. Persetan dengan kata menyedihkan, aku benci hal-hal yang bersangkutan dengan semuanya.

"Siapa mereka? Kenapa kamu dipukuli seperti ini? Ula-"

"Ibu, lain kali jangan terlalu khawatir. Ula baik-baik aja."

Tak disangka mulutku sudah tak kaku lagi, suaraku lancar-lancar saja. Haruskah bisa kusebut keajaiban? Lalu apa gunanya kesembuhan ini sekarang, tak berpengaruh dalam hidup kelamku.

"Bagaimana Ibu gak khawatir-"

"Bibi."

Kurasakan hangat jemari Ibu mereda, dia mengangkat sembari mengatupkan bibir lalu dia tutupi dengan tangannya. Isak tangis Ibu, terdengar menyedihkan. Ya, akhirnya aku tahu seperti inilah yang disebut menyedihkan.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang