17

183 47 31
                                    

Lea hanya bisa memalingkan wajahnya saat pandangannya tidak sengaja bertemu dengan manik hitam milik Jimin. Langkah kaki Lea semakin cepat untuk buru-buru meninggalkan pria itu yang berada di belakangnya. Lea berdecak kesal saat pintu lift sudah lebih duluan tertutup sebelum dia sampai di depan lift tersebut. Harusnya Lea memang tidak pergi ke kantor saja hari ini jika harus bertemu dengan pria itu.




Dengan tergesa-gesa Lea berjalan untuk menuruni anak tangga. Sendal high tinggi yang dia gunakan sangat tidak membantunya, membuat Lea bahkan hampir saja terjatuh. Jika saja dia tidak sigap untuk menyeimbangkan tubuhnya. Meskipun begitu, Lea tetap merasakan kesakitan yang sungguh menyakitkan.



"Lea kau tidak apa-apa?" tanya Jimin dengan cepat memegang tangannya, namun buru-buru Lea tepis.





"Jimin stop," pinta Lea dengan maksud agar Jimin tidak menghubunginya lagi.





"Lea dengar," dengan cepat Jimin menghempit tubuh Lea ke dinding, sengaja agar Lea tidak bisa kabur darinya. "Aku tidak bermaksud untuk tidak datang, Chaerin sakit dan aku tidak punya pilihan lain," ucap Jimin jujur secara terus terang kepada Lea, dia tidak mau lagi menutupi sesuatu dari Lea.




Namun tanpa sadar hal tersebut malah semakin menggali luka yang dalam untuk Lea. Membuat Lea sadar jika Jimin memang lebih memperdulikan anak itu ketimbang dirinya.





Rasanya ternyata memang semenyakitkan ini, anak itu bahkan belum lahir namun sudah membuat Lea merasa tidak berarti apa-apa untuk Jimin.



"Aku tau, Chaerin mengirimkan sebuah foto," singgung Lea berharap Chaerin memang tidak menghapus foto tersebut, karena menggunakan handphone Jimin tanpa izin.



"Foto apa?" tanpa Jimin seperti orang kebingungan.





Lea memaki dalam hati, ternyata Chaerin memang sengaja memanas-manasinya. Tidak salah juga kenapa Jimin sangat mudah untuk dijebak, pria itu terlalu baik dan lembut. Sedikit tidak tegaan dan mudah sekali untuk dimanfaatkan.






"Jimin aku mohon, aku harus segera pulang," lirih Lea sambil menolakan pelan tubuh Jimin yang berada dihadapannya.





"Lea jangan seperti begini aku mohon," pinta Jimin benar-benar tidak bisa melepaskan Lea. Pria itu begitu memohon, keputusan dari pengadilan akan segera keluar dan Jimin tidak siap dengan hasilnya.





"Aku mohon kau masih mau 'kan memberi aku kesempatan?" Lea hampir dibuat memekik saat pria itu tanpa permisi memeluknya erat.




"Kau sudah berjanji akan melepaskan ku," mendengar itu Jimin menggelengkan kepalanya tidak setuju.






"Jimin maaf, aku merasa aku tidak bisa menerima kehadiran anak itu . . . aku takut jika suatu saat nanti aku akan egois dan menyakiti perasaannya," tolak Lea berterus terang. Padahal sebetulnya dia sudah hampir goyah karena Jimin yang memohon padanya.




Setelah itu Lea berhasil membuat Jimin melepaskan pelukan mereka, "Aku janji dia tidak akan tinggal bersama kita, kau mau aku hanya menemuinya sekali dalam satu bulan, atau satu tahun akan aku lakukan—."




Lea menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Aku tidak mau kau menjadi jahat karena aku Jimin, kumohon jangan lakukan itu."




Mendengar itu Jimin semakin merasa frustasi, pria itu tidak bisa lagi membendung tangisannya. Seperti dia memang tidak punya harapan lagi untuk bisa mempertahankan Lea.




"Jimin jangan menangis . . . " jujur Lea merasa tidak tega melihat Jimin menangis seperti ini.







"Bagaimana bisa aku tidak menangis jika aku harus kehilangan mu," dengan lembut Lea maju mendekat untuk menghapus air mata milik Jimin. Membuat Jimin menahan tangan Lea, untuk ia genggam dengan kuat. Dengan terus disentuhkan pada pipinya.




"Jangan seperti ini kau membuat aku tidak tega . . . " frustasi Lea karena bisa-bisa mereka tidak jadi bercerai.



"Kalau begitu aku akan terus menangis," ucap Jimin membuat Lea hanya bisa menatapnya pilu.







Lea berjanji pada dirinya sendiri, jika suatu saat nanti dia akan merebut apa yang sudah menjadi miliknya.






Lea menolak ucapan Jimin dengan menarik paksa tangannya. "Sudah, ya aku harus pergi."



"Boleh aku minta sesuatu sebagai perpisahan," pinta Jimin membuat Lea menaikan kepalanya.





"Kau ingin apa?"





"Ciuman perpisahan," jawab Jimin membuat Lea sempat terdiam cukup lama.




Lea menganggung pelan, setelah itu barulah Jimin mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Lea. Rasa asin begitu terasa namun Lea tetap membiarkan Jimin bermain pada bibirnya. Pria itu menggunakan lidahnya untuk mengait lidah Lea di dalam sana. Karena ini adalah ciuman perpisahan yang Jimin minta, oleh karena itu Lea membiarkan Jimin melakukan apapun yang pria itu mau.




Sampai ciuman itu terlepas, Lea buru-buru menahan dada Jimin saat pria itu hendak melanjutkan ciumannya lagi. "Jimin sudah," larang Lea sambil menundukan wajahnya malu.




Harusnya Lea tidak mengizinkan Jimin untuk melakukan hal barusan. Tidak seharusnya mereka berciuman seperti tadi.



"Aku pergi," ucap Lea sebelum kembali naik ke atas dan lebih memilih turun dengan menggunakan lift.





Selama diperjalanan pulang, Lea terus terbayang akan memori-memori pernikahannya dengan Jimin.  Biasanya Lea selalu bisa mengatasi segala hal permasalahan dalam pernikahan, namun kali ini rasanya tampak begitu sulit. Lea memang wanita lemah, namun dia berjanji pada dirinya sendiri akan kembali dengan versi lain dari dirinya.





***

mo ngetik apa ya duh bingung.

𝐀𝐧𝐬𝐰𝐞𝐫 𝐌𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang