21

208 56 13
                                    

Jam delapan pagi Jimin sudah selesai mandi, menyisahkan Lea sendiri di atas ranjang sambil memainkan handphonenya. Tetesan air yang berjatuhan dari rambut pria itu mengalir jatuh ke handuk dan beberapa membasahi lantai.





"Mau kemana?" Lea meletakan handphonenya, lalu memeluk Jimin erat dari belakang. Bau sabun dengan harum mint tercium dengan sangat jelas. Membuat Lea semakin betah untuk terus memeluk tubuh Jimin.





"Aku harus ke kantor," jawab Jimin membuat Lea yang berada di belakang punggungnya sontak cemberut.





"Tidak boleh!" larang Lea tidak mau Jimin pergi dengan semakin mengeratkan pelukannya. Lea terlihat sangat posessive, tapi meskipun begitu Jimin menyukainya.




Jimin membalik tubuhnya agar berhadapan dengan Lea, melihat bagaimana Lea mengadahkan wajahnya lalu kembali memeluk Jimin lagi. Karena saat Jimin berbalik, pelukan tangan Lea sempat terlepas. "Ini sudah minggu lebih kau melarangku," ucap Jimin, jelas pikiran pria itu tidak tenang. Selalu memikirkan pekerjaan kantornya yang sudah lama dia tinggalkan. Tidak lupa ada Arin yang juga tidak ia temui selama beberapa hari ini.



Jimin bahkan tidak tau bagaimana dengan nasib acara pernikahannya yang kemungkinan besar memang sudah batal.




"Tapi nanti kau tidak kesini lagi," dengan nada yang sedih Lea berucap, entah apa karena Lea terlalu mendalami peran sebagai seorang pelakor. Karena saat ini dirinya benar-benar tidak mau Jimin berbalik ke pada Chaerin lagi.



"Aku pasti akan balik kesini Lea, aku tidak mungkin meninggalkan mu."



Karena terakhir kali, justru Lea lah yang meninggalkannya.




"Tidak mau, kau pasti akan menemui Chaerin," larang Lea benar-benar tidak iklas jika Jimin bertemu dengan wanita itu.




"Aku hanya akan menemui Arin," ucap Jimin menyebutkan nama anaknya. Lea tidak jengkel mendengar itu, tapi anak itu resmi menjadi penghalang terkokoh yang sulit untuk Lea lewati.




"Sama saja kau pasti juga akan menemui Chaerin," kemudian Lea melepaskan pelukannya, lalu kini beralih nakal untuk menarik handuk Jimin.





"Lea!" tegur Jimin karena hampir saja handuknya benar-benar terbuka, jika saja dia telat menahan handuknya.




"Jangan pergi," larang Lea lagi dengan raut muka yang berubah murung.



"Hanya sebentar aku janji, aku hanya ingin memastikan keadaan perusahan baik-baik saja," janji Jimin sedikit membujuk Lea agar, Lea mau mengizinkannya.



"Janji untuk tidak bertemu dengan Chaerin dan anaknya," setelah itu Lea mengangkat kelingkingnya untuk ditautkan dengan kelingking milik Jimin.



Jimin membalas kelingking Lea dengan menautkan kedua kelingking mereka, "Aku janji."




"Awas saja jika kau langgar, bulan ini aku belum datang bulan," ucap Lea dengan sedikit nada ancaman yang diperhalus sedemikian mungkin.



"Kau hamil?" tanya Jimin tidak percaya. Ada rasa bahagia yang tiba-tiba timbul kepermukaan saat Lea mengatakan jika dia telat datang bulan. Membuat Jimin benar-benar merasa begitu semangat.




"Tidak tau," jawab Lea jujur, jika tanda pertama karena dia telat datang bulan. Mungkin memang ada sedikit kemungkinan besar jika dirinya sedang hamil. Tapi terkadang, gejala-gejala seperti itu tetap bisa saja salah. Lea tidak mau terlalu berharap,  apalagi membuat Jimin semakin tambah berharap. Karena ketimbang dirinya, Jimin lebih terlihat antusias dengan kehamilan Lea.




"Akan aku cek siang ini, jadi kau harus pulang jika ingin tau aku hamil atau tidak," disatu sisi, jika dia benar-benar hamil. Lea akan mempunyai alasan untuk menahan dan memonopoli Jimin.




"Iya sayang aku pasti akan pulang," ucap Jimin membuat Lea mulai melepaskan pegangannya pada Jimin.



"Tapi bagaimana jika misalnya kau hamil dan Jungkook tau soal ini?" tanya Jimin memikirkan hal kedepannya. Karena sejak awal permasalahan awal terberat mereka juga berada pada tangan Jungkook.



"Kau takut dengan Jungkook Oppa?" tanya Lea dan dijawab Jimin dengan gelengan kepala.




"Bukan begitu maksudku, aku tidak masalah jika dia akan menghajarku sekalipun. Tapi yang aku takutkan dia tidak akan merestui hubungan kita."



Lea tidak pernah berpikiran sampai kesana, karena jujur wanita ini tidak pernah memikirkan apa konsenkuensi yang akan dia dapatkan dari setiap perbuatannya. Yang Lea pikirkan hanyalah dia bisa mendapatkan apa yang dia mau tanpa mau memikirkan akibat-akibat terburuk yang akan terjadi.




"Aku tidak tau," jujur Lea,  dia bahkan malas dibuat pusing dengan memikirkan hal semacam itu.




"Baiklah, akan kita bicarakan lagi setelah aku pulang dari kantor," putus Jimin karena saat ini sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini.

𝐀𝐧𝐬𝐰𝐞𝐫 𝐌𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang