23

188 50 9
                                    

Lea meringis bukan main saat ujung jarum suntik itu masuk membuat luka pada kulitnya. Matanya sudah tampak berair dengan tubuh yang menegang, dimana itu sangat tidak disarankan saat proses suntikan dilangsungkan.


"Sayang kau tidak boleh tegang," tegur Jimin segera menyelesaikan proses suntikan yang dia lakukan sendiri, dengan menekan bagian atas suntikan sampai semua cairan obat masuk habis kedalam tubuh Lea.



"Sakit Jimin, sakit . . ." perlahan Lea mulai terisak, kulitnya yang bekas di suntik itu masih terasa nyeri.



"Iya aku tau, sekarang sudah tidak sakit lagi 'kan?" tanya pria itu sambil mengusap kepala Lea pelan.


"Tubuh mu panas," ucap pria itu yang menyadari jika demam Lea dari kemarin sama sekali tidak membaik. Badan menggigil, tenggorokan serak, hidung pilek, bahkan pusing kepala Lea juga turut tidak sembuh-sembuh. Hal ini juga didukung dengan cuaca Korea Selatan yang hujan terus sepanjang hari.


"Kau harus istirahat," ucap Jimin karena tinggal itu satu-satunya hal yang perlu Lea lakukan. Wanita itu sudah makan, mandi dan meminum vitamin. Membuat Jimin menarik selimut untuk menutupi kaki Lea sampai bagian dada.


"Kaki ku pegal," kode Lea dengan bermaksud agar Jimin mau memijitkan kakinya. Tanpa mesti disuruh pria itu langsung memijiti kaki Lea, membuka sedikit selimut istrinya.



"Jimin . . . ?"



"Hm?" dehem pria itu yang masih setia menguruti permukaan kaki Lea.




"Jika seandainya kita sudah memiliki anak duluan dari dulu, apa mungkin penyakit ini tidak akan aku derita?" tanya Lea membuat keadaan seketika berubah menjadi hening.


"Lea, aku tidak pernah berharap memiliki anak jika kau tidak mau. Percuma kita memiliki anak jika hal tersebut membuat wanita yang aku cintai dibuat terpaksa," jelas Jimin dengan gerakan pijitannya yang ikut memelan, "Ini tubuhmu Lea, kau berhak melakukan apa saja untuk tubuhmu. Dan aku sama sekali tidak berhak untuk itu."


"Aku tau, aku hanya menyesal kita tidak punya anak dari dulu," ucap Lea masih kesusahan bernafas karena hidungnya terasa sumbat. "Aku takut aku melakukan kesalahan sehingga membuat kita kehilangan mereka," cicit Lea semakin murung. Karena salah satu faktor yang memicu terjadinya pengentalan darah pada ibu hamil adalah kehamilan pada anak kembar. Dan hal inilah yang terjadi pada Lea saat ini.


"Jika hal itu sampai terjadi itu semua bukan kesalahanmu, mungkin itu memang belum rezeki kita. Yang bisa kita lakukan saat ini hanya harus terus berusaha agar kandungan mu baik-baik saja, sampai waktu melahirkan tiba."


"Eomma menyuruhku untuk pulang," ucap Lea mulai teringat jika kemarin ibunya menelponnya untuk menyuruhnya segera pulang. Mengingat Lea bahkan sudah tidak pulang beberapa bulan ini.



"Tidak masalah, aku akan mengantarkan mu pulang. Mereka juga pasti sudah lama bertanya-tanya tentang keberadaan mu akhir-akhir ini," ucap Jimin memilih untuk mengalah, walau sebetulnya dia sama sekali tidak rela dengan kepergian Lea.



"Tidak mau Jimin . . . disana tidak enak, aku hanya mau disini saja bersama mu," Lea menggelengkan kepalanya tidak setuju.





"Lea, cepat atau lambat mereka akan curiga," jelas Jimin entah kenapa merasa seperti pengecut. Seharusnya dia menemui kedua orangtua Lea, bukannya malah menahan anak gadis mereka seperti begini.



"Aku tidak perduli, aku lelah dilarang dan diatur-atur. Lagipula kita sudah akan memiliki anak, jadi seharusnya mereka tidak perlu ikut campur urusan kita lagi," ucap Lea berisikeras pada pilihannya sendiri tanpa perduli dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja akan datang.


***

Dua bulan kemudian . . .


Jelas pria bernama Park Jimin tidak bisa dibuat konsen karena harus dipusingkan dengan Chaerin yang terus menghubunginnya karena Arin yang sedang jatuh sakit. Sebagai seorang ayah Jimin memberanikan diri untuk mengambil keputusan tegas. Oleh karena itu dia mencobaa untuk meminta izin kepada Lea untuk menemui Arin meski hanya sebentar.



"Kau sudah makan?" tanya Jimin dengan senyuman yang merekah, agar suasana tidak terlalu tegang saat dia mengatakan maksud tujuannya.


Lea yang sedang memakan buah menganggukan kepalanya sebagai jawaban, dimana saat ini Jimin sedang berada dibelakangnya. Kemudian meminta Lea untuk menyuapkan potongan buah itu kepadanya.


Awal kehamilan Lea, jelas Jimin dibuat begitu cemas karena rentetan penyakit yang mudah menyerang. Untungnya semakin bertambahnya usia kehamilan Lea, Jimin bisa dibuat menarik nafas lega. Karena Lea sudah tampak lebih baik daripada bulan-bulan sebelumnya.



"Lea . . ?" panggil Jimin terlihat tidak tenang, tangannya tampak bergerak gugup. Kemudian sesaat mencoba untuk lebih serius dengan berdehem pelan.




Lea mengadakankan kepalanya untuk bisa melihat wajah Jimin yang berada dibelakangnya. Instingnya sadar jika ada hal serius yang akan pria itu bicarakan padanya.


"Aku mendapatkan kabar jika Arin sedang sakit," jelas Jimin namun Lea sudah lebih duluan membuang muka, bahkan untuk mendengar nama anak Jimin saja rasanya sudah mampu membuat mood Lea menjadi tambah buruk.




"Lalu?" balas Lea malas dan tidak tertarik, membuat Jimin dibuat menghembuskan nafas kasar bingung harus berbicara seperti apa lagi.



"Aku harus menemuinya, bagaimana pun Arin juga anakku. Apa boleh aku menemui Arin sebentar?" izin Jimin sambil mengubah posisi tubuhnya untuk saling berhadapan di depan Lea.



"Jimin aku tidak perduli, dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengizinkan kau untuk bertemu Chaerin dan anak itu," tolak Lea benar-benar egois, jika dirinya bisa mengorbankan banyak hal untuk Jimin seperti menentang dan tidak pulang ke rumah orangtuanya saat dirinya dicari. Harusnya Jimin juga bisa melakukan hal yang sama dengannya, dengan lebih mengutamakannya daripada siapapun.


Kesabaran Jimin terlihat habis, terlihat bagaimana hembusan nafas dan tatapan pria itu, "Bisa kau tidak egois untuk kali ini saja? Dulu kau bilang kau mau menerima kehadiran Arin dan mau menerimanya sebagai anakmu sendiri. Lalu apa sekarang?" Jimin dibuat sedikit mengambil jeda untuk bernafas, "Aku hanya kesana sebentar, hanya untuk menjenguk Arin. Aku sama sekali tidak akan melakukan hal-hal lain, Arin membutuhkan aku Lea, aku mohon."


"Jelas itu berbeda karena itu dulu bukan sekarang, dulu dan jauh sebelum aku memutuskan diri untuk kita bercerai!"


"Lea aku tidak mau kita bertengkar gara-gara hal seperti ini, aku cuma ingin kau mengerti keadaan ku. Arin sedang sakit dan aku hanya ingin menjenguknya sebentar," ucap Jimin berharap Lea mau mengerti.





"Kenapa harus aku?" tanya Lea sambil menaikan wajahnya untuk menatap mata Jimin.




"Kenapa harus aku yang harus mengerti kondisimu? disaat hal itu terjadi karena kesalahanmu sendiri Jimin, aku lelah jika harus disuruh mengerti terus-terusan. Aku juga manusia dan aku ingin egois." Lea tidak tau apa tindakannya benar atau salah. Tapi saat ini dia sama sekali tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbuat egois. Lea hanya ingin egois, meskipun hanya satu kali ini saja. Lea sama sekali tidak berniat ingin mengalah barang sedikitpun. "Kau sadar 'kan? jika pernikahan kita tidak akan sehahancur ini jika tidak ada anak itu."





"Terserah temuai saja anak itu jika kau mau, dan jangan pernah perdulikan aku lagi," setelah itu Lea bangkit dari berdiri untuk masuk kedalam kamar.




***

yhaha sudah masuk konflik.

btw, season satu akan berakhir di 2-3 chapter lebih ya.

𝐀𝐧𝐬𝐰𝐞𝐫 𝐌𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang