10. Kesepakatan yang Terlibat Perasaan

505 120 6
                                    

Keheningan menyelimuti. Sudah 10 menit lebih mobil berjalan akan tetapi belum ada satupun suara yang terdengar. Padahal di dalamnya terisi empat insan.

Pertama, Turangga. Disertai sudut bibir memarnya yang sedang menyetir dengan tenang sambil sesekali melirik kanan-kiri, atau terkadang melirik spion tengah mobil.

Kedua, Kapisa. Duduk bersedekap dada di samping Turangga dengan wajah datar.

Ketiga, Ijas. Duduk tepat di belakang kursi mobil Turangga dengan gerak-gerik tak nyaman. Moodnya sudah turun sedari tadi.

Terakhir, Amber. Satu-satunya yang tidak memahami situasi sekarang, hingga kini yang ia lakukan hanya mengerjap polos ikut diam.

Bagaimana ceritanya kini mereka berempat bisa berada di dalam satu mobil yang sama? Disaat insiden beberapa menit lalu masih begitu terasa menegangkan. Mari, kembali ke detik-detik hingga menit-menit tadi yang sempat terlewati.

[ Conglomerates and The Poor ]

Di sudut sekolah dekat kolam ikan, Kapisa memijat pangkal hidungnya pening. Tidak habis pikir setelah mendengar cerita Ijas yang memukul Turangga hanya karena masalah kecil. Ini adalah hal sepele, dan adiknya itu tak seharusnya menonjok Turangga begitu saja.

Sebelum menasehati Ijas, Kapisa beralih pada Turangga yang meringis nyeri memegangi pipinya.

"Terus lo. Ngapain masih disini? Padahal gue nggak minta lo buat nunggu." Cecar Kapisa sembari menahan diri untuk tidak bersimpati pada Turangga.

"Janji gue tadi anter lo pulang, bukan kesini. Jadi gue nunggu lo buat pulang bareng. Gue nggak mau hutang janji." Ujar Turangga, yang sebenarnya hanya alibi agar ia tidak disangka sengaja menunggu Kapisa.

Kapisa diam, berpikir sejenak. Memiringkan kepalanya mengingat-ingat kembali. "Lo emang bilang mau anterin gue. Tapi nggak sampai janji, kan?"

Turangga mengedikkan bahunya. "Seinget gue, gue janji sama lo buat nganter pulang. Mungkin lo lupa." Tidak, Kapisa memang benar. Turangga sudah kepalang berbohong diawal, jadinya sekalian nyebur.

Melihat interaksi kakaknya dan orang asing ini tepat di depan mata, Ijas segera memotong obrolan keduanya. "Sebenarnya lo siapanya kakak gue?"

Lantas Kapisa dan Turangga menoleh kearahnya bersamaan, menjawab pertanyaan yang ditunjukkan pada Turangga secara bersamaan pula.

"Temen!"

"Pacar."

Kapisa segera mendelik tajam. Seharusnya label pacar tidak digunakan Turangga sembarangan, lagian mereka tidak serius berpacaran. Tidak wajib membeberkan status -saling menguntungkan- ini.

Ijas memberikan tatapan menuntut pada Kapisa. Gadis itu segera menyadarinya dan mengibaskan tangan sembari menjelaskan. "Dia bukan pacar kakak, bang. Serius. Cuman temen-"

"Gue pacarnya. Kapisa pacar gue. Kakak lo ini pacaran sama gue." Potong Turangga menekan setiap katanya, berbicara dengan serius kepada Ijas. Bisa ditebak seberapa besar keinginan Kapisa memukul kepala Turangga saat ini juga.

Beberapa argumentasi muncul di kepala Ijas. Mengapa Kapisa berpacaran dengan lelaki ini? Apa Kapisa mengulang apa yang ia lakukan diwaktu lalu? Apa Kapisa lagi-lagi melakukan hal itu? Dan banyak lagi, yang bahkan tidak bisa ia tampung sendiri.

"Bang. Ini nggak seperti yang abang pikirin." Sanggah Kapisa berusaha meyakinkan, takutnya hal ini akan memicu pertengkaran antara mereka, lagi.

"Tapi kayaknya iya, seperti yang abang pikirin." Sela Ijas tidak mempercayai ucapan Kapisa, ia ingin segera menyelesaikan masalah ini berdua dengan Kapisa.

Conglomerates and The PoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang