06. Markas GF (Balkon)

772 177 37
                                    

Seusai sarapan bareng keluarga, Kapisa dan adik-adiknya berpamitan kepada Carmine untuk berangkat sekolah. Saat adiknya menunggu di teras, Kapisa menunduk, mensejajarkan diri dengan Carmine yang duduk di sofa ruang tamu.

"Bunda—" Belum sempat berucap lebih lanjut, Carmine memotong duluan.

"Iya, iya, kakak. Jangan bukain pintu selain buat kakak, abang dan adek. Jangan keluar rumah kalau ngerasa lemas. Jangan dulu kerja dan lakuin kegiatan berat karena pinggang bunda belum sembuh total. Kalau mau keluar, sekalipun ke rumah tetangga, harus lapor dan kasih tahu kakak." Ujar Carmine panjang lebar, seakan tahu larangan-larangan beserta kalimat itulah yang akan Kapisa sampaikan.

Anak gadisnya itu menghela nafas, mengecup pipinya sayang. "Uang kakak simpan di tempat biasa, kalau mau dipakai belanja atau apapun juga silakan. Terus kemana-mana naik taksi aja, nggak boleh naik angkot, berdesakan soalnya. Nanti jangan lupa kasih tahu kakak di chat atau telepon. Paham nggak, bun?"

Kali ini Carmine yang menghela nafas, sambil mendorong Kapisa menjauh, ia mengiyakan dengan cepat. "Iya, kak, paham. Udah sana kamu berangkat, kasihan nanti abang sama adek telat gara-gara kamu ngomel terus."

"Bun, ih!"

"Emang bener, kan? Sana, sana."

Kapisa cemberut, ia melepas Carmine. "Hati-hati di rumah."

"Astaga, iya, kak! Sana cepet pergi, tuh lihat adik-adikmu udah sepet gitu mukanya."

"Yaudah, kakak berangkat! Dadah!" Pamit Kapisa, menutup pintu rumah, menghembuskan nafas untuk yang kesekian kalinya.

Setiap jauh dari bundanya, Kapisa selalu tak tenang. Ia takut, takut ada yang hilang dari keluarga mereka yang mulai membaik ini. Maka dari itu, dengan mengantar kedua adiknya sekolah, Kapisa baru bisa lega.

"Grab yang kakak pesan udah ada di depan, ayo berangkat." Sambil menggandeng tangan kedua adiknya, Kapisa melangkah ke depan rumahnya.

Mengantar mereka ke sekolah, memastikan keduanya masuk dan melewati gerbang. Lalu baru ia yang berangkat ke sekolah, tidak pernah telat karena sekolahnya masuk pada pukul 08.00 pagi.

[ Conglomerates and The Poor ]

Selangkah menuju gerbang sekolah, Kapisa merasakan tatapan mata sesekali melirik ke arahnya. Bisikan tak ayal ia dengar.

"Katanya Kapisa pacaran anjir sama Alubiru!"

"Kemarin gue malah liat dia sama Turangga di taman baca, anjir!"

"Wow, emang udah nggak ada harga dirinya tuh cewek."

"Anjing! Itu liat dia disamperin GF!"

Wajah lelaki pemilik tahi lalat di hidung itu memenuhi pandangan Kapisa, ia terpaksa berhenti dari langkahnya. Mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka, memberikan tatapan tanya.

Turangga melirik sekitar, takut terdengar orang lain jika membahas rasa penasarannya di sini.

"Ikut gue." Ajaknya, melangkah terlebih dahulu dan Kapisa hanya bergeming. Tidak ingin ikut.

Lalu tanpa persetujuan, Alubiru merangkul bahunya. Menarik ia agar mengikuti Turangga. "Ikut aja. Nggak bakal kita apa-apain, kok!"

Kapisa mendelik tajam, menghempaskan tangan Alubiru dari bahunya. "Gue bisa sendiri, bangsat. Jangan sentuh gue lagi, jijik." Umpatnya meninggalkan Alubiru yang hanya menyeringai mendengarnya.

Cyan menyikut lengan Alubiru. "Sangar juga tuh cewek. Gue baru liat dia, lumayan cantik ternyata."

Kali ini Alubiru merangkul sohibnya, menyusul Turangga dan Kapisa. "Gue gitu loh yang nyariin."

Conglomerates and The PoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang