Kapisa merasa ada yang aneh dari Ijas. Dari semalam hingga ia mengantar dan menjemput sekolah, adiknya itu tidak mengeluarkan banyak suara. Meskipun biasanya demikian, namun hari ini Ijas nampak dua kali lipat lebih pendiam.
"Jadinya kita mau kemana dulu?" Suara Turangga memecah lamunannya tentang Ijas, Kapisa menoleh sebentar kepada Turangga sebelum fokus menatap jalan.
Gadis itu bergumam sendiri, menjawab asal. "Kemana-mana hatiku senang." Yang ternyata Turangga dapat mendengarnya sampai tertawa kecil, refleks satu tangannya bergerak mengacak rambut halus Kapisa.
"Manis banget pacar aku." Ujarnya membuat Kapisa langsung berdeham pelan salah tingkah. Tangan Kapisa menunjuk jalan untuk mengalihkan perhatian. "Pertigaan depan belok kiri, habis itu lurus terus. Tempatnya nanti ada di sebrang kanan."
Kurva Turangga naik semakin lebar, sadar jika Kapisa sedang mencoba mengalihkannya. Tangan lelaki itu yang dipakai mengacak rambut mulai menggenggam tangan sang kekasih sementara yang satunya ia pakai menyetir, lantas menggeleng kecil seraya tak bosan mengucap Kapisa menggemaskan dalam hati berulang kali.
Mereka mengobrol ringan selama perjalanan dengan tangan masih saling menggenggam. Sampai Turangga yang sedang menceritakan keluhannya tentang Abu dan Cyan yang sering meributkan hal-hal kecil itu, tiba-tiba menghentikan ucapannya dan mengernyit dalam.
"Loh? Kayak kenal ini dimana." Ujarnya baru sadar bahwa jalan tempat yang akan mereka tuju sangatlah familiar baginya. Ia menghentikan mobilnya ketika Kapisa menyuruh demikian.
"Kapisa?" Panggilnya seperti sebuah tanya meminta penjelasan mengapa mereka pergi kesini.
Kapisa mengambil nafas sebelum menjelaskan. "Waktu ngobrol sama mami Abu kemarin gue diceritain banyak hal tentang lo, Turangga. Juga, ayah dan ibu lo."
Kapisa melepas seatbelt-nya duluan. "Yuk, turun. Gue perlu beli bunga dulu sebelum ketemu Tante Isvara." Katanya sembari turun dari mobil terlebih dahulu meninggalkan Turangga yang masih mencerna perkataannya, lalu tak berselang lama ikut turun menghampiri Kapisa.
"Beliau memang suka sekali anyelir, ya?" Tanya Kapisa tanpa mengalihkan pandangannya dari penjual bunga yang sedang merangkai pesanannya begitu Turangga sudah berada di sebelahnya.
Paham beliau yang Kapisa maksud adalah ibunya, Turangga mengangguk membenarkan. "Iya. Ibu suka bunga anyelir karena warnanya. Padahal makna bunga anyelir sendiri menggambarkan ibu yang sekarang."
"Yaitu aku tidak akan pernah melupakanmu; dan aku tidak dapat bersamamu."
Kini Kapisa menoleh setelah menerima bunga anyelir yang sudah jadi sebuah buket itu. Memperhatikan raut wajah Turangga yang nampak sendu. Lelaki itu menggerakkan kepalanya ke samping begitu Kapisa secara perlahan memasukkan jemari kecilnya diantara tangan besarnya, menggenggamnya erat disertai senyum manis yang jarang diperlihatkan.
"Kalo gitu tolong kenalin gue ke wanita cantik penyuka bunga anyelir ini, Turangga." Kalimat itu mau tak mau membuat Turangga menghangat, kembali jatuh hati untuk yang kesekian kalinya kepada sosok ini.
Turangga mengangguk, balas menggenggam erat. Keduanya berjalan beriringan melewati gapura bertuliskan; "Pemakaman Alam Selarasa".
[ Conglomerates and The Poor ]
Setelah Turangga mengucap salam dan mengusap pelan nisan di hadapannya, ia mulai memperkenalkan Kapisa. "Ibu, kenalin, ini Kapisa. Pacar Rag. Cantik, kan?"
Kapisa tahu salah tingkah disaat seperti ini bukanlah ide bagus, maka ia memilih mengulas senyum, memperkenalkan diri kepada Isvara—ibu Turangga. "Sore, tante. Saya Kapisa. Mungkin bunganya tak seberapa, tetapi saya tulus memberikan ini sebagai bentuk perkenalan kita. Semoga tante suka, ya."
Bunga anyelir itu Kapisa letakkan di atas tanah dekat batu nisan. "Oh, iya. Tante dapet salam dari mami Abu, katanya maaf karena sudah lama tidak menjenguk. Sebagai gantinya Tante Harini mengirim saya kesini." Tutur Kapisa disertai kekehan ringan.
"Beliau cerita waktu tante masih hidup, katanya tante sangat cantik dan anggun sekali. Namun sayang, saya nggak bisa liat rupa cantik tante secara langsung." Turangga disana hanya mendengarkan sembari mengangumi paras Kapisa yang banyak mengeluarkan sebuah senyum disertai tawa manis.
"Nanti aku tunjukkin foto ibu kalo kita udah di rumah." Lelaki itu akhirnya ikut bergabung, dan mengadu kepada ibunya. "Padahal ya, bu. Pacar aku ini jarang senyum apalagi ketawa. Tapi waktu ketemu ibu, dia banyak senyum dan ketawa. Aku cemburu tahu."
Kapisa memicingkan matanya, berkata ketus. "Lagian mau ketawa gimana kalo lo aja lebih banyak jahilin gue."
"Soalnya wajah cemberut lo kayak narkoba, bikin kecanduan."
"Tuh, kan! Sekarang malah ngawur."
"Namanya fakta, bukan ngawur."
"Ada aja jawabannya." Kapisa mendelik membuat Turangga terkekeh. Ia beralih kembali kepada sang ibu. "Tuh liat, bu. Pacar aku segemesin itu. Beruntung banget ya aku bisa ketemu sama Kapisa?"
Cukup! Turangga sudah membuat Kapisa terkena serangan jantung akut. Bahkan sedari tadi mukanya sudah merah padam. Seakan tidak ingin kalah, gadis itu berbicara kepada Isvara. "Tuh liat, tan. Anaknya nggak bisa berhenti godain saya. Kenapa ya saya harus ketemu Turangga?"
"Biar jodoh lah." Celetuk Turangga menjawab pertanyaan serampangan Kapisa. Oke, ini entah yang kesekian Kapisa dibuat kalah telak, tak bisa menanggapi Turangga lagi. Sebaliknya ia menyimak anak tunggal itu yang bercerita bagaimana awal mereka bertemu kepada sang ibu.
Menatap lekat wajah rupawan itu, dan tanpa sadar tersenyum sendiri. Kapisa juga diam-diam berkata kepada Isvara;
"Terima kasih, tante. Karena sudah melahirkan Turangga ke dunia ini."
[ Conglomerates and The Poor ]
haha, lucu banget serius.
udah lama nggak rasain
vibes kayak gini bareng
tokoh sendiri.oh iya, mau tanya.
Jay dan Jake cocoknya
dipasangin siapa, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerates and The Poor
FanfictionHemat ala Kapisa itu dengan cara pacarin cowok kaya. Matre? Bukanlah! Itu namanya realistis. Seri pertama dari : Universe Of Love - © 2022, ontyapin.