12. Ayo Kita Buktiin

493 113 17
                                    

Kapisa berbaring di ranjangnya sambil menatap atap-atap kamarnya. Melamuninya cukup lama dengan pikiran ruwet. Pertanyaan dari Ijas tidak sepenuhnya ia jawab jujur, beberapa ia jawab dengan alasan teman karena Kapisa tidak ingin Ijas mengetahui bahwa dirinya menjadi pacar pura-pura Turangga dan mendapat keuntungan dari sana.

Karena Kapisa tahu betul jika Ijas tidak ingin dirinya kembali memacari orang hanya demi uang. Kerja keras dari Ijas lah yang membuatnya tidak lagi demikian. Akan tetapi Turangga datang, dan Kapisa tidak bisa menolak sebab hutang-hutang masih ada yang belum terlunasi.

Terakhir kali pada waktu itu ada dua preman datang menagih, penghasilan pertama dari hubungan –saling menguntungkan– dengan Turangga langsung Kapisa berikan kepada mereka, dan Kapisa berterima kasih atas itu.

Kehidupannya selalu dalam keadaan krisis, Kapisa tidak bisa memuaskan dirinya sendiri.

Ia... bukanlah orang baik-baik. Bukanlah orang terpandang. Bukanlah orang yang layak dicintai.

Entah mengapa ia tiba-tiba berpikir demikian, yang pasti pertanyaan Turangga masih terngiang-ngiang di kepalanya, dan jawabannya yang tak bisa terucapkan akhirnya terputar di dalam pikirannya.

Jujur, Kapisa bisa melihat jika Turangga murni hanya meminta bantuannya demi terlepas dari perjodohan saja. Tidak lebih maupun kurang. Dan sepenglihatannya, Turangga ini selalu melakukan apapun dengan tulus.

Contohnya saat tak sengaja melihat Turangga bersama kedua sahabatnya, Kapisa bisa langsung menyimpulkan bahwa mereka anak-anak yang tidak pernah memanfaatkan harta kekayaannya untuk kekuasaan. Justru sebaliknya, Turangga dan sahabatnya lebih memilih membumi padahal mereka mampu untuk melangit kapanpun.

Kapisa takut perasaannya tumbuh, karena dilihat dari segi manapun, Turangga masuk kriterianya.

Meskipun di sisi lain Kapisa merasa beruntung karena mendapat tawaran menjadi pacar pura-puranya. Tapi di sisi lainnya juga, Kapisa merasa tidak bisa mengendalikan diri jika berlama-lama bekerjasama dengan Turangga.

Kapisa harap, sampai hari rabu mendatang. Ia dapat bertahan dan terbebas dari anak konglomerat itu.

[ Conglomerates and The Poor ]

Hari-hari terlewati. Kapisa dipertemukan dengan senin kembali yang menjadi hari keramat bagi sebagian orang, termasuk ia. Tak terasa, kurang lebih sekitar 48 jam menuju pertemuannya dengan keluarga Turangga.

Selama itu pula hari terakhir Kapisa bertemu, atau lebih tepatnya mengobrol dengan Turangga adalah di halaman rumahnya. Setelahnya jika berpapasan di manapun, Kapisa selalu menghindar.

Bukan apa-apa, ia sedang melindungi perasaannya sendiri. Lebih baik mengurangi interaksi dan menyelesaikan kerjasama ini secepat-cepatnya.

Kini, yang Kapisa prioritaskan dalam hubungan pura-pura mereka bukanlah uang lagi. Tetapi dirinya. Ia memahami bahwa sekarang hatinya sedang perlahan-lahan membuka. Padahal bukan dirinya sekali menerima siapapun begitu mudah, dan Turangga lagi-lagi mematahkan persepsinya itu.

Mengapa? Mengapa harus Turangga?

Dari sekian banyak laki-laki yang sudah ia manfaatkan. Kenapa harus lelaki tulus itu? Kapisa tidak ingin mendobraknya. Mereka... terlalu berbeda.

Kakinya yang terus melangkah menuju perpustakaan itu terhenti begitu saja saat dahinya menabrak sebuah dada bidang. Ia sedikit mendongak, wajah serius Turangga langsung memenuhi indra penglihatannya.

"Lo hindarin gue. Four days in a row. Kamis dan jum'at di sekolah, sabtu dan minggu chat gue dianggurin." Ujar Turangga langsung yang membuat Kapisa mundur beberapa langkah terkaget.

Lelaki ini menghadangnya karena hal itu? Apa tidak berlebihan?

Kapisa akhirnya memilih untuk tidak menjawabnya dan berjalan kearah pinggir Turangga yang kosong. Namun, lagi-lagi dirinya dihadang. Raut Kapisa menjadi kusut. Tidak bisakah ia melewati jam istirahat pertama ini dengan tenang?

"Jangan kabur. Explain the reasons to me." Ujar Turangga menuntut jawaban.

Kapisa berdecak. "Ck. Lo ngapain, sih? Ganggu banget sumpah."

"Gue cuman mau lo jelasin kenapa lo hindarin dan cuekin gue? Apa salahnya?" Turangga ikut kesal, namun berusaha untuk tidak membentak gadis dihadapannya ini.

Kapisa meneguk ludahnya kasar. Mengapa ia bisa melihat bahwa di dalam iris mata Turangga terlihat kefrustrasian dan juga... kerinduan? Otak dan hatinya mulai mendebatkan hal yang tidak penting, antara menolak untuk percaya atau menerimanya.

"Nggak Ijas, nggak elo. Semuanya aja minta jelasin, padahal nggak ada yang perlu gue jelasin. Kalian para cowok tuh sebenarnya kenapa, sih?" Sebal Kapisa mencurahkan unek-uneknya, ia menghela napas sebelum sadar bahwa tanpa sengaja ia menjadikan Turangga bahan pelampiasan.

Kapisa memejam sejenak, konflik batin. Ia berbicara tanpa melihat wajah Turangga. "Gue pergi." Saat tubuhnya sudah melewati Turangga, pergelangan tangannya digenggam oleh lelaki jangkung itu. Membuat Kapisa mau tidak mau berbalik dengan keadaan dirinya tertahan oleh genggaman tangan Turangga.

Entah apa yang mereka coba siratkan lewat tatapan, hanya saja mereka terlihat nyaman berlama-lama saling memandangi. Sampai Kapisa tersadar duluan dan berusaha melepaskan genggamannya, akan tetapi Turangga malah semakin mengeratkannya.

"Lepas."

Tanpa mengindahkan perkataan Kapisa, Turangga melayangkan pertanyaan spontan yang sontak membuat Kapisa bergeming dan tidak lagi memberontak. "Apa gara-gara gue bahas perasaan di mobil waktu lalu lo jadi menghindar gini?"

Keterdiaman Kapisa adalah suatu jawaban. Turangga menghela napas, ia mengendurkan genggamannya saat dirasa Kapisa tidak akan kemana-mana.

"Apa salahnya kalo kita memang benar-benar akan lebih dari yang dibayangkan? Maksudnya, tinggal dijalanin." Lanjut Turangga.

Kapisa mengeraskan rahangnya untuk menahan diri. "Lo tanya apa salahnya? Jelas salah. Kita itu beda. Dari segi manapun. Dan gue nggak akan pernah bisa jalaninnya."

Mendengar itu, Turangga segera mengerti, bahwa kekhawatiran Kapisa ada pada kenyataan jika mereka berdua banyak memiliki perbedaan. Turangga tersenyum kecil, setidaknya kini ia tahu perihal apa yang selama ini Kapisa pikirkan tentangnya.

Raut Turangga berubah sepenuhnya menjadi penuh kehangatan. Ia tidak menyembunyikan dan menahannya lagi.

"Ayo kita buktiin bisa enggaknya lo jalanin ini. Jalanin hubungan sebagai pacar beneran dan bukan lagi pacar pura-pura."

[ Conglomerates and The Poor ]

demi apa baru 2 hari
ujian soalnya susah kale.
inimah saya salah jurusan, fiks.

inimah saya salah jurusan, fiks

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Conglomerates and The PoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang