Seumur-umur, Kapisa tidak pernah menunjukkan kelemahannya pada siapapun. Menangis pun terbilang jarang dan bisa dihitung jari selama ia beranjak dewasa. Tak mudah mengekspresikan diri bahwa ia sebenarnya rapuh, dan membutuhkan sosok untuk dijadikan sandaran.
Kapisa rasa semua hal itu tidak berguna jika dibesar-besarkan, berpijak sendiri hingga saat ini pun nyatanya ia bisa. Mungkin itu dirinya yang dulu, sebelum bertemu Turangga. Mengetahui bahwa ternyata ketika ia sudah menemukan seseorang yang tepat, Kapisa ingin terus menunjukkan sisi lain darinya yang bisa membuat Turangga bertahan di sampingnya.
Gunjingan orang-orang yang dulunya tidak Kapisa hiraukan, kini sangat sensitif untuknya. Pandangan orang-orang yang dulunya tidak ia pedulikan, kini sangat ia amati setiap saat. Rumor jahat yang dulu ditunjukkan untuknya tidak membuat Kapisa resah sama sekali, namun kini ada ketakutan akan Turangga yang mempercayai itu.
Lamunan Kapisa buyar begitu Turangga menyodorkan susu hangat beserta tisu kepadanya, kantin yang sepi membuatnya sadar jika hanya ada mereka berdua di sini. Jam istirahat sudah berbunyi sejak 15 menit lalu. Matanya tak berani bersitatap dengan mata milik sang tuan, ia fokuskan pandangan pada susu hangat di atas meja kantin.
Keheningan menyapa di antara keduanya, tak ada yang memulai percakapan. Turangga ingin menunggu Kapisa bercerita terlebih dahulu, sedangkan Kapisa nyaman akan keterdiaman ini. Sama seperti sesuatu yang tak ingin ia ungkap agar semuanya tetap berjalan semestinya.
Pada menit ke enam, Kapisa buka suara, "seharian ini, lo mau nggak temani gue ke tempat-tempat yang dulu belum sempat gue datangi?"
Disertai senyum tipis terindah yang pernah gadis itu lihat seumur hidupnya, Turangga ulurkan tangannya yang segera Kapisa terima. Sembari menggenggam telapak tangan yang lebih mungil darinya, ia berucap;
"Mari, tuan putri. Mau tujuannya ke ujung dunia sekalipun akan saya temani anda dengan sepenuh hati."
Kapisa tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga pada kesekian kalinya. Turangga sukses membuatnya jatuh, sejatuh-jatuhnya. Hari ini, Kapisa akan berpuas diri untuk ia, untuk dia, dan untuk meraka. Karena mungkin di masa yang akan datang, ia ingin kembali pada hari ini.
[ Conglomerates and The Poor ]
"Tempat ini impian masa kecil gue. Dulu rasanya iri saat temen-temen yang lain selalu bercerita diajak kesana-kemari sama orang tuanya, sedangkan gue sibuk ngurusin adik-adik yang kurang perhatian dari orang tua gue."
Ketika kaki mereka berpijak di Dunia Fantasi, Kapisa ceritakan sedikit kisah masa kelamnya. Turangga hanya perhatikan gadis cantik itu dengan pandangan tak terbaca, merangkul pundak Kapisa dan menariknya lebih dekat dalam dekapan hendak memberi kekuatan. Diberi perlakuan demikian Kapisa tak bisa menahan senyumannya, ia lanjutkan ucapannya mengganti topik.
"Gue ajak naik wahana yang namanya persis kayak nama lo berani nggak?" Ajaknya disertai senyum nakal yang baru pertama kali Turangga lihat. Lelaki itu menaikkan satu alisnya, "komidi putar Turangga-Rangga?"
Kapisa mengangguk membuat sang tuan menatapnya kompetitif, "wahana gampang gitu masa gue nggak berani."
Lima menit kemudian Kapisa terus tertawa saat Turangga menggenggam tangannya erat-erat menahan pusing. Ketimbang malu karena mereka sudah besar naik wahana anak kecil, Turangga lebih tidak suka ketika komidi putar itu membuatnya pening padahal putarannya bisa dibilang lambat.
"Hhh, mau turun aja?" tanya Kapisa dengan sisa-sisa tawanya. Mungkin jika bukan keadaan genting, Turangga sudah memuji kekasihnya dengan berbagai ribu kata indah.
Kepalanya menggeleng tanda menolak, "nggak, ini kan impian—huek!"
Di sinilah mereka sekarang, duduk di kursi yang tak jauh dari komidi putar disertai Turangga yang melamun sembari memegang sebotol air mineral ditemani Kapisa di sisinya yang menepuk pelan punggung lelaki itu menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerates and The Poor
FanfictionHemat ala Kapisa itu dengan cara pacarin cowok kaya. Matre? Bukanlah! Itu namanya realistis. Seri pertama dari : Universe Of Love - © 2022, ontyapin.