Hidangan mewah yang memenuhi meja makan nampak menggiurkan, akan tetapi Kapisa tidak berselera untuk mencicipi satu-persatu. Dentingan antara sendok dan piring terdengar dalam keheningan ini. Sesekali dirinya melirik kearah ayah dan anak itu yang menikmati makanan mereka masing-masing.
Setelah dari makam Isvara tadi, sepasang kekasih itu langsung pergi ke rumah Turangga. Ketika datang keduanya langsung diarahkan ke meja makan untuk makan malam. Kapisa mendapati sosok pria paruh baya sudah duduk di sana yang bisa langsung ia tebak beliau adalah Kadru—ayah Turangga.
Sejak kedatangannya kemari, tak ada suara apapun dari Kadru dan hal itu yang membuat Kapisa gugup berkepanjangan sehingga tidak dapat makan dengan benar, dan Turangga sadar akan itu.
Menyendok ayam asam manis dan memindahkannya ke piring milik Kapisa. "Makan yang banyak, biar enak dipeluk."
Kapisa tersedak mendengarnya, refleks memelototi Turangga dan melirik Kadru yang sudah memperhatikan keduanya lamat. Beberapa detik yang mencekam itu seakan meraup habis oksigen disekitarnya, namun tak lama tawa Kadru pecah hingga meneteskan air mata. Seakan-akan apa yang ia saksikan tadi adalah hal terlucu di dunia.
Gadis itu melongo, sedangkan kekasihnya sibuk berkutat dengan segelas air dan menyerahkannya pada Kapisa.
"Enaknya jadi anak muda." Ujar Kadru diselingi nada jahil.
Turangga memastikan gadisnya minum dengan benar, lantas menoleh ke arah sang ayah. "Kalo gitu siapa suruh jadi tua."
"Durhaka kamu sama ayah." Balas Kadru.
Kedikan bahu Turangga berikan sebagai respon untuk ayahnya, sisanya ia kembali berfokus pada Kapisa yang sudah mulai rileks dengan situasi sekarang. Kadru yang menyadari hal tersebut segera memasang senyum tipis, menyimpan sendok serta garpunya.
"Selamat datang, Kapisa. Maaf baru sempat saya katakan sekarang, tadi keburu lapar jadinya saya fokus makan. Gimana makanannya, enak? Semoga selera saya dan anak saya cocok sama kamu." Akhirnya Kadru mengajak Kapisa mengobrol.
Meski percakapan yang dimulai Kadru diluar ekspektasi Kapisa, obrolan seperti ini lebih baik dibanding pertanyaan interogasi ala-ala drama yang selalu ia tonton. Rasanya bisa bernafas seperti biasanya.
Menarik kurvanya naik, Kapisa merespon dengan jenaka mengharapkan suasana yang lebih nyaman. "Lebih dari enak, om. Ternyata selera ayah dan anak ini nggak salah."
Tawa Kadru menggelegar di seluruh ruang makan, sampai Turangga sedikit kaget. Sudah lama sejak ayahnya bereaksi dan tertawa selebar itu. Diam-diam tersenyum kecil, bersyukur akan kehadiran Kapisa yang perlahan menghilangkan rasa canggung.
"Jika besok-besok kesini lagi jangan sungkan, ya. Kasih tahu Rag saja apa makanan kesukaan kamu, biar waktu kesini bisa disiapkan sama Bi Kintan."
"Siap, om!" Tangannya terangkat memberi hormat, gelak tawa Kadru terdengar kembali akan respon menyenangkan dari kekasih anaknya. Lantas kembali membuka obrolan lebih luas, menikmati waktunya bersama kedua remaja itu.
Kapisa tak henti melebarkan senyumannya selama berbincang dengan ayah sang kekasih, ia mengikuti arus dan menikmati momen bersama keduanya. Rasa sesal datang seketika begitu mengingat kegugupannya tidak seharusnya ada, nyatanya ia melewati makan malam bersama Kadru lebih dari kata baik.
[ Conglomerates and The Poor ]
Angin malam menerbangkan rambut indah Kapisa, ia sedikit bergidik saat udara membelai halus kulitnya. Hangatnya cangkir berisi coklat panas itu tak sepenuhnya menghalau rasa dingin, sampai akhirnya Turangga datang dan tanpa berucap menyampirkan jaket padanya, menemani Kapisa yang sedang merenung di taman belakang rumah seusai makan malam mereka selesai beberapa waktu lalu.
"Gue suka ayah lo." Ujar Kapisa setelah menyeruput minumannya.
Turangga menoleh cepat dengan ekspresi campur aduk. "Coba ulang lo ngomong apa tadi."
Merasa nada bicara Turangga tak ramah, Kapisa ikut menoleh. Menatap wajah tampan itu lamat, lalu tak lama terkekeh pelan. "Bukan suka dalam konteks romantis ya. Nggak usah nampilin muka ngajak tawuran kayak gitu, jelek."
"Tetep aja rasanya nggak enak denger itu dari cewek yang gue suka." Balas Turangga berbicara langsung dari hati.
Kapisa tertegun, tak berani menjawab. Mustahil setelah semua yang mereka lewati hingga detik ini Kapisa tidak memiliki perasaan sepeserpun. Nyatanya meskipun kecil dan belum sebesar itu, tentu rasa sukanya terhadap Turangga nyata adanya.
Keterbukaan Kadru yang menerimanya terang-terangan belum cukup membuat Kapisa yakin bahwasanya hubungan antara ia dan Turangga pantas dijalani. Ada keraguan serta tembok tak kasatmata yang menghalangi keinginannya untuk menyatakan bahwa ia juga telah jatuh ke dalam pesona lelaki itu, bahwa ia juga menyukai lelaki itu.
Kedua pasang mata itu bertemu, Kapisa memutuskan terlebih dahulu sambil beranjak masuk ke dalam rumah sembari berkata, "ayo masuk. Udaranya udah mulai dingin. Terus tadi di makam lo bilang mau nunjukin foto Tante Isvara, sekarang gue tagih janjinya."
Turangga tatap punggung kecil itu yang semakin mengecil, ia rasa ada pembatas antara mereka yang Kapisa bangun. Apa semua perjuangannya belum sampai pada titik keberhasilan? Mengapa Kapisa terasa sangat jauh untuk Turangga gapai? Ataukah ini yang namanya sia-sia?
Turangga menginginkan kepastian.
[ Conglomerates and The Poor ]
minal aidzin wal faidzin,
mohon maaf lahir dan batin.semoga lamanya up dapat
dimaafkan oleh pembaca-
pembaca CnTP ini. terima kasih
sudah mau menunggu sampai
detik ini. wuff u oll.
KAMU SEDANG MEMBACA
Conglomerates and The Poor
FanfictionHemat ala Kapisa itu dengan cara pacarin cowok kaya. Matre? Bukanlah! Itu namanya realistis. Seri pertama dari : Universe Of Love - © 2022, ontyapin.