Prolog

1.2K 132 6
                                    

Ada harga yang harus dibayar untuk setiap yang didapat, termasuk dengan kehilangan. Aku mengartikan sesuatu yang hilang sebagai sesuatu yang juga sudah aku usahakan untuk memperolehnya. Dan, aku memaknai bahwa apa yang aku dapatkan tidaklah selalu yang aku upayakan dan aku inginkan. Bijak, bukan? Ya, sewajarnya keluar dari pikiran seorang perempuan yang kini sudah menginjak usia tiga puluh tiga tahun.

Jika kehidupan romansaku diibaratkan sebagai sebuah novel, apa yang aku dapat sekarang akan menjadi sesuatu pada buku keduaku, setelah kehilangan menjadi akhir dari buku pertamaku.

Beberapa tahun dari kehilangan itu, aku dikenalkan dengan seorang lelaki yang pada akhir cerita baru bisa kusimpulkan bahwa dialah tokoh utama pria pada buku keduaku.

Sebelumnya, aku tidak berpikiran akan berada dalam situasi romantis yang menghubungkan aku dengan seorang lelaki seperti pada buku pertama. Di bayanganku, buku kedua adalah tentang aku yang bangun dan terlahir kembali, menjadi seorang Rengganis Arumina Satya yang berbeda. Aku yang menjadi lebih dewasa, tidak lagi periang dan menyenangkan, lebih tertutup dan hanya fokus soal pekerjaan. Sendiri yang biasanya menakutkanku, akan jadi nyaman dan aman yang aku butuhkan. Ramai yang sebelumnya menurunkan bahuku, akan membuatku menaikkan dagu. Ya, itulah secuil tentang aku di buku kedua.

Di buku pertama, aku berkenalan dengan banyak lelaki. Mulai dari yang menjalin hubungan denganku hanya selama tiga bulan, setengah tahun, sampai dengan yang berniat serius denganku setelah berpacaran selama setahun. Dengan seseorang yang kukenal sekilas, teman kerja yang berhubungan baik denganku sampai sekarang, sampai dengan pemilik bengkel tempatku bekerja dulu yang bertemu denganku karena sebuah kejadian tidak menyenangkan.

Di buku kedua, romansa yang tidak ada dalam bayanganku itu nyatanya datang tanpa salam. Berkali-kali aku berkenalan dengan seorang pria, berkali-kali itu pula berakhir asing. Keenggananku jelas tampak dari gestur dan bicaraku. Tidak ada perasaan ingin mengenalnya, mencari tahu tentangnya, siapa pun itu. Tidak peduli bagaimana rupanya, postur tubuhnya, profesinya, bagaimana ia menjalani hidup, aku sudah langsung menolaknya.

"Move-on, Mbak." Sam mengingatkanku dengan serius setelah usahanya yang tidak hanya sekali untuk mepertemukan aku dengan kawan maupun kenalannya. "Mas Juna juga nggak akan suka kalau Mbak kayak gini."

Ini seperti dialog klise pada kisah-kisah romansa saat seseorang ditinggalkan kekasihnya selamanya. Ya, kisah di buku pertamaku yang memperkenalkan aku pada kehilangan memang se-klise itu. Menyukai seseorang yang paling memahami dan mengenalku, menerima, dan mengajarkanku banyak hal baik benar-benar biasa saja layaknya kisah cinta manusia lain. Tapi, yang membuatnya tidak biasa adalah karena kakak sepupuku itulah yang jadi pemeran utama laki-laki di sana.

Mengingatnya, aku tidak menyangka kalau hal semacam itu akan menjadi konflik besar dalam kisah percintaanku. Tidak menyenangkan, memang. Ada waktu di mana aku terpikirkan, bagaimana bisa aku menyukai kakak sepupuku sendiri? Yang lebih mengerikan, kenapa bisa dulu kami berpikiran untuk hidup bersama-sama? Membayangkan menjadi pasangan, berumah tangga, atau mungkin mempunyai anak dan menjadi orang tua bersama, sekujur tubuhku merinding.

Sudah cukup banyak penyangkalan yang aku lakukan, benci pada diri sendiri juga bukan sesuatu yang hiperbolis. Mencapai tahap menerima pun bukan sesuatu yang mudah dan sebentar.

"Ini nggak ada hubungannya sama Kak Ajun ya!" Pantang untukku membawa-bawa nama itu ke dalam obrolan kami. Selain anggota keluarga lain, hanya Sam yang masih menyebutnya langsung di depan mukaku.

Begitulah kira-kira pertengkaranku dengan Sam yang terus berulang.

"Kalau cari yang kayak Mas Juna ya nggak akan ada, Mbak."

"SAM!"

Itulah yang selalu jadi pertengkaran kami. Bagaimanapun, Sam ada benarnya. Bahwa aku masih memagari hatiku, memasang kawat duri di atasnya yang akan sulit untuk dilampaui siapa saja tidak terkecuali kedua orangtuaku sendiri yang aku tinggalkan untuk menepi.

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang