Kalau aja aku gak main ke tempat Teh Naya, mungkin kali ini ceritaku bakalan kurang menyenangkan. Sedikit aja, Uwak Nurul alias ibundamu yang biasanya di sampingku, sepertinya tidak lagi bisa begitu. Aku juga bisa langsung menerimanya, mengertinya dan tidak masalah dengan itu. Ya ... kan sudah tiba masanya juga aku mengurus diriku, tidak lagi menghiraukan segala yang kamu tinggalkan, yang pada akhirnya sedikit banyak memberatkan langkahku.
Uhm ... tapi, bukannya kebanyakan yang aku tulis belakangan ini memang hal-hal yang kurang menyenangkan ya?
Mungkin ceritaku sekarang ini sedikit lebih baik. Dibilang menyenangkan, mungkin enggak. Aku ... cuma berpikir kalau ini penting buat diceritakan. Minggu kemarin aku ketemu orang-orang yang waktu itu merisakku. Walaupun aku udah nggak di 'situ' lagi, kenangan itu masih ada. Sesekali sakit tapi kemudian aku bercermin, melihat betapa hebatnya aku bisa sampai di sini.
Dulu aku pernah bertanya, apa mereka menyesali perbuatan mereka? Apa yang mereka rasakan saat melakukannya? Apa yang mereka dapatkan karenanya? Dan ... bagaimana perasaan mereka dewasa kini ketika ingat kalau masa dewasa muda mereka diisi dengan sesuatu yang menyakiti orang lain?
Beberapa jawabannya udah aku dapat dari Teh Naya yang jadi temanku cerita tiap kali pulang. Tapi, untuk pertama kalinya aku dengar itu dari Teh Denia yang lagi hamil. Dia merasa nggak bisa punya anak karena berpikir kalau dia nggak akan bisa jadi ibu yang baik. Aku nggak banyak cerita dengannya, dan enggak mau juga bersedih-sedih lagi karena itu. Tapi menurutku, dengan dia yang sadar akan kesalahannya, dan sampai sekarang jadi teman baik yang menyambutku pulang di saat semua orang seperti enggan melihatku, bagaimana bisa aku mendendam?
Menjadi baik adalah kesempatan untuk semua orang. Menurutku, sekalipun seseorang jadi tokoh antagonis di sebuah cerita terkenal, adalah protagonis di cerita lainnya yang tertumpuk buku lain atau mungkin belum dituliskan. Tapi menariknya, dalam ceritaku, di buku pertama mereka jadi si antagonis yang membuatku semakin takut buat sendirian. Dan di buku keduaku ... mereka protagonis yang menemani aku di sela kesendirian.
Yang berubah mungkin bukan orangnya, tapi bagaimana aku memandangnya. Bukan hanya aku yang menjadikan pertemuanku dengan mereka dulu sebagai konflik yang membangun karakterku. Tapi mereka juga sama. Kami sama-sama tumbuh dengan itu. Waktu memang tidak membantu, tapi aku, mereka, bukan batu. Kami sama-sama berjalan ke arah berbeda, melewati banyak rute yang pada akhirnya mempertemukan kami kembali. Dengan kami yang bertambah usia, membawa cerita kelam di pundak masing-masing.
Dulu, kamu yang membawaku pergi dari mereka yang membuatku sakit, perlahan memulihkan hingga aku sembuh. Sekarang, sepeninggal kamu yang pada akhirnya membawaku juga pergi dengan luka, mereka yang menyambutku pulang, mengawaniku, perlahan membasuh kesakitan lamaku juga luka baruku.
Dulu, kalau bukan karena mereka, bisa saja aku dan kamu berkeras hati untuk menahan perasaan masing-masing. Dan sekarang, kalau bukan karena kamu, sangat mungkin kalau aku jadi pendendam yang selamanya diingatkan sore kelam itu. Dari sebuah quote yang kubaca di Instagram, katanya, "memaafkan itu untuk diri sendiri." Benar, walaupun mungkin itu nggak aku ucapkan pada mereka, berkawan dengan mereka adalah lebih dari cukup.
Cukup lama sampai aku bertemu mereka kembali, selama itu juga aku gak mengenal maaf. Seperti yang kamu tahu sendiri, gimana aku hidup selama itu. Takut sendirian, melalui perkenalan demi perkenalan dengan banyak lelaki, sulit berteman. Bertemu dengan mereka lagi juga tidak mudah, yang ternyata bukan hanya untukku tapi juga mereka. Hampir 15 tahun berlalu, siapa sangka kalau kekelaman itu memberikanku sinar harap dalam gelap lain? Ya, aku sendiri juga nggak pernah menyangka. Dan mungkin ... kamu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romansa[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...