Suarasa

385 62 16
                                    

Pluto Healing Center memang nama sebenarnya, bukan sekadar keren-kerenan dalam tulisanku.

Begitu selesai dengan pemulihanku, sebelum pulang, aku sempat bertanya pada Anneke; kenapa nama bagian yang jadi tanggung jawabnya ini jauh berbeda dengan bagian-bagian lainnya di Pusat Rehabilitasi yang kedengarannya lebih serius dan meyakinkan. Namun saat itu Anneke hanya tersenyum, dan bilang, “setelah hampir setahun berada di sini, terlepas dari namanya, apa kami serius dan meyakinkan?”

Kupikir Anneke tersinggung atau memang pertanyaanku tidaklah perlu. Namun, nama itu yang jadi obrolan pertama kami di kedatangan pertamaku setelah pulang.

“Pluto itu planet kerdil, Rengganis.” Anneke menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan ceritanya yang tiba-tiba saat aku mengabsen semua pajangan di ruangannya termasuk lukisan Pluto. “Sejak awal, Pluto itu planet katai. Tapi kemudian, NASA mengumumkan kalau Pluto masuk kualifikasi planet besar. Dan sampai sekarang, dia bukan lagi planet besar. Seperti Planet yang pernah dianggap Planet, namun kemudian tidak lagi dianggap Planet.”

Memusingkan, bukan? Sesering-seringnya aku mengobrol dengan Anneke, Tata Surya dan semua hal berbau astronomi yang disukainya tidak pernah kumengerti. Lukisan tiga bulan yang akan menyambut pandangan siapapun yang masuk ke ruangannya ini, juga. Anneke pernah menceritakannya. Namun saat menyimaknya dulu, mungkin aku sedang tidak waras.

“Menurutku, Pluto jadi gambaran besar orang-orang yang sampai di sini,” Anneke melangkah mendekatiku, ikut melihat lukisan yang tidak mengalihkanku. Perlahan, dia membawaku keluar yang mengganti pemandanganku dengan taman lapang. "Mereka yang ada di sana, di luaran, tidak akan ada yang tahu kalau mereka pasien selain orang-orang yang mereka beritahu. Mereka yang serba tanggung. Mereka kelihatan sehat, bisa menjalani hidup seperti biasanya. Sementara saat tiba di sini, mereka datang dengan berbagai macam alasan. Dari mereka yang tidak menyadari sakitnya, tidak kelihatan sakit, tidak menerima kalau mereka sakit, atau … sakit yang tidak dianggap sakit.”

Laras. Aku ingat perempuan itu, seketika membuatku diam-diam menyapu pandanganku ke setiap sudut di taman lapang.

“Mereka manusia yang seperti manusia lainnya namun tidak juga seperti manusia lainnya,” Anneke tak terusik dengan apa yang kucari. “Pengobatan paling tepat juga dengan mereka tetap menjalani hidup mereka. Apa yang biasanya mereka lakoni, apa yang mengisi waktu mereka, apa yang mereka sukai.”

“Soal menulis juga?” tanyaku, ingin tahu juga kenapa dulu Anneke hanya memberiku obat tidur dan obat penenang yang sesekali harus aku minum. “Apa karena kamu tahu kalau aku suka menulis semacam diari, lalu kamu memberikan laptop peninggalan Teh Mila begitu saja?”

“Iya dan tidak,” jawab Anneke bias. “Soal laptop Karmila, awalnya aku hanya ingin tahu apa yang akan kamu lakukan dengan itu. Pertama-tama, kamu tidak menolaknya waktu aku menyimpannya di meja kamarmu.”

Aku mengingat kembali ke hari itu, hari di mana aku terbangun dengan tangan yang menggunakan penyangga serta kepala yang dibalut perban.

“Kamu tidak masalah?” tanya Anneke, membuyarkan lamunanku. “—aku menceritakannya.”

“Kamu bisa berhenti kalau menurutmu aku tidak kelihatan baik-baik seperti sekarang,” jawabku, lengkap dengan senyum untuk meyakinkannya. “Aku mau, aku akan mendengarkannya. Aku bersedia mendengarkannya.”

Anneke tersenyum lega, kentara kalau ia khawatir aku mengingat waktu yang lalu.

“Dulu, aku pikir kamu akan membuangnya. Ternyata tidak. Atau mungkin kamu akan menghancurkannya, melemparnya, merusaknya. Tapi tidak juga. Kamu membiarkannya beberapa saat sebelum akhirnya Taufan datang menjengukmu untuk pertama kalinya setelah mengantarkanmu.”

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang