Aku menunggu Mirza yang pamit untuk bersih-bersih dulu. Di perjalanan tadi, aku tidak mengobrol dengannya. Bicara jika ditanya, yang kebanyakan hanya iya dan tidak. Ini seperti di awal hubungan kami dulu, saat masih perkenalan. Tidak tahu kenapa, aku mendadak malas saja. Bukan aku tidak mau kalau hubungan kami tetap berjalan, hanya saja, ini melelahkan.
Salah, memang. Aku sendiri yang minta agar Mirza pergi, yang artinya membuat jeda dalam hubungan kami. Tapi ini sungguh melelahkan. Ibaratkan, kalau Mirza melamarku, mengajakku menikah, maka aku akan langsung mengiyakannya tanpa pikir panjang lagi. Aku tidak perlu tahu ini dan itu lagi, soal Laras juga, aku tidak perlu tahu sekarang. Bukannya bermaksud sembarangan, namun, apa pun keputusanku, agaknya akhirnya akan selalu sama. Aku ingin hubunganku dan Mirza tetap berjalan. Tidak ada lagi yang perlu aku pikirkan, aku percaya padanya.
"Mau ngopi nggak?" Mirza datang dari luar membawa serta tas kerjanya. Pakaiannya tak ada bedanya dengan setelannya tadi selain warna dan merek. Baju kaos dan celana training. "Oh, nanti, bentar," katanya, menyadari tatapanku yang menghakimi penampilannya. "Ada yang perlu dikerjain, sebentar," katanya seraya menata perlengkapan kerjanya yang mendadak pindah ke pantri. Laptopnya, tabletnya, juga buku catatannya.
Aku menggeser dudukku, membantunya menata meja. Sejenak, aku tertegun melihatnya dari samping. Di mobil tadi aku benar-benar diam. Aku terlalu kaget untuk bertemu lagi dengannya. Maksudnya, aku yakin kalau kami akan tetap bertemu, bersama, hanya saja aku tak menyangka kalau hari itu datangnya pagi ini. Selain tidak ada obrolan, aku juga tidak berani melihatnya. Namun sekarang, bisa-bisanya aku sesantai ini memperhatikannya.
Baru kali ini aku melihat Mirza dengan potongan rambut yang menutup leher dan belakang telinganya. Bulu halus juga menghiasi rahangnya, sementara ia membiarkan janggutnya menutupi dagu. Kelihatan lebih dewasa, namun aku tetap bisa melihatnya sebagai Mirza. Bukan seperti orang yang sedang pusing, atau malas mengurus diri saking sibuknya. Mirza hanya ... ah, untuk pertama kalinya aku canggung memujinya. Benar seperti saat awal-awal perkenalan. Kalau dulu karena belum kenal dan belum tertarik. Kali ini, aku hanya malu saja. Segan. Apa katanya kalau aku tahu-tahu bilang bahwa dia semakin tampan?
"Kamu belum ambil minum ya?" tanyanya, beralih mengambil dua botol air mineral yang tersusun rapi di rak bersama minuman kemasan lainnya. "Belum sarapan juga kan?"
Aku menganggukinya pelan, tetap memperhatikannya yang sama sekali tampak tidak terganggu. Sampai ia duduk di sebelahku, aku bisa mencium baunya yang refleks membuatku bergeser.
"Dari tadi aku biarin, loh, Mbak Ganis," katanya seraya membuka laptop, sama sekali tak melihatku yang masih tetap dengan pemandangan di depanku.
"Terganggu nggak?" tanyaku, membuatnya menoleh, membuatku terkesiap "Cakep, loh."
Mirza tertawa. Sial! Ini bukan pertama kalinya aku melihat Mirza dengan pakaian rumahan, tapi, lama tidak bertemu membuatnya lebih berbahaya. Tak sampai membuatku sanggup menahan diri untuk sekadar berucap.
"Berani banget, aku. Maaf," aku memalingkan wajah darinya, bangkit dari dudukku, melihat-lihat apa saja yang ada di pantri selain Mirza. "Aku tuh bingung, malu banget juga ketemu kamu. Enggak tahu harus ngapain, harus apa."
"Butuh segini lamanya buat kamu kayak gini?" tanya Mirza, berhasil membuatku kembali melihatnya.
"Kayak gini, gimana?" kenapa juga bicaraku mendadak gugup. Astaga!
Mirza tersenyum puas, kembali pada layar tabletnya. Aku tak bertanya lebih lanjut. Kembali duduk di bangku yang sedikit jauh darinya, aku bisa cukup jelas melihatnya yang sibuk membaca sesuatu di layar. Berita ekonomi? politik? membuka media sosial? Tidak tahu. Yang aku perhatikan raut wajah dan gesturnya. Jauh lebih menarik daripada berita-berita memusingkan itu. Sesekali keningnya berkerut, atau alisnya menukik, hingga decakan yang keluar dari mulutnya dengan berbagai macam ekspresi dan reaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romance[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...