33 | Kamu percaya Takdir?

426 67 11
                                    

Setelah memastikan kalau aku benar Ganis yang dipanggilnya, Teh Mila membawaku ke ruangannya. Agaknya nyawaku tertinggal di koridor tempat aku melihat Laras yang terkejut melihat kedatangan Mirza tadi, sampai untuk berjalan pun aku seperti tengah mengapung mengikuti angin.

Segala yang kupersiapkan untuk bertemu Teh Mila tertelan habis, berubah jadi energi yang ikut bersama nyawaku di sana. Tak mengindahkan Teh Mila yang mempersilakanku duduk di sofa besar depan meja kerjanya, aku memilih duduk di kursi tinggi yang menghadapkanku langsung ke taman.

"Kebetulan itu spot favorit aku. Sebentar," Teh Mila menaikkan sedikit kaca jendelanya, juga tirai yang dibiarkannya terbuka. "Kamu mau minum apa?"

"Eh?" Aku mengumpulkan nyawaku kembali, melihat Teh Mila yang melangkah ke arah pantri kecil di sudut ruangan. "Apa aja, Yang merepotkan," jawabku, membuat perempuan yang tidak banyak berubah itu tertawa.

"Ganis still Ganis. It's been a while," katanya, menyalakan mesin kopinya namun kemudian mematikannya lagi. "Tunggu di sini sebentar."

Aku melihat Teh Mila yang berjalan keluar meninggalkanku, lalu kembali meluruskan dudukku, melihat pemandangan di depan sana. Menyambungkan untaian tali dari semua yang sudah kudapat, sepertinya aku sudah bisa menyimpulkan. Tempat ini, Mirza yang belum bercerita, juga keadaan Laras yang bisa kulihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku lebih tidak sabar dengan cerita Mirza nanti. Apa yang akan dikatakannya soal Laras, apa dia sudah bilang kalau ia melamarku, dan bagaimana juga reaksinya.

Merinding, aku merasakan hawa lain selagi aku memperhatikan mereka. Kalau bukan untuk memberi jawaban dari semua pertanyaan yang kusimpan dengan baik sampai tiba waktunya nanti, aku tidak tahu ini untuk apa. Semua yang ditunjukkan-Nya pasti ada artinya.

Di awal perkenalan dengan Mirza, melaluinya, aku sudah pernah ditunjukkan dunia yang pernah dan sedang aku lalui. Keterkaitan orang-orang di sekitarku dengannya, Sam, Taufan. Sampai sebelum aku melihat Mirza yang menjenguk Laras di sini, aku tidak pernah mempertanyakannya. Hingga sekarang, di tempat ini, hatiku mencelos menangkap semuanya. Bertemu dengan orang di masa laluku yang memberi luka, mengantarkanku pada dua orang di masa sekarangku yang semoga tidak memberi luka baru.

Aku percaya pada Mirza. Aku percaya kamu. Aku memeluk diri yang dihujani berbagai macam perasaan di satu waktu. Kaget saat Laras menolak Mirza mendekatinya, sedih saat Mirza tetap dengan usahanya berbicara meski Laras tak melihatnya, hingga was-was menunggu Laras meresponsnya. Aku menahan diri kuat-kuat untuk tidak menemani Mirza di sana. Takut, ingin tahu, aku tak tahu lagi.

Aku masih tidak bisa memutus pandanganku dari Mirza yang masih duduk di tempatnya. Kali ini, ia memperkecil jaraknya dengan Laras, melihat apa yang dikerjakannya. Apa yang Mirza bicarakan? Apa ada aku di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya menenggelamkanku dalam kegelisahan. Mungkin sudah waktunya aku bertanya pada Mirza, namun takut juga mendengar ceritanya.

Kapan?

Kegelisahanku tersapu dengan yang kuperhatikan. Mirza tampak menunjukkan cincin yang dipakainya pada Laras, mengukir senyumku. Namun sedetik kemudian, senyumku luntur saat Laras memeluknya. Mulai saat ini, aku ingin terus ingat dan mengatakan pada diri sendiri kalau Laras adalah sepupunya Mirza. Sedang sakit, sangat dekat dengannya, dan sudah sewajarnya seperti ini. Tapi tidak semudah itu. Aku hampir saja pindah tempat duduk, tepat saat melihat Laras menangis. Dan Mirza, tangannya baru terangkat beberapa detik kemudian, memeluknya balik. Kepalanya menengadah, pasti dia menahan tangisnya. Beberapa detik saja, Mirza menjauhkan dirinya lagi, tersenyum dan mengatakan sesuatu pada Laras.

Apa yang Mirza katakan? Apa ada aku di dalamnya? masih dengan pertanyaan yang sama, dengan jawaban dan alasan yang berbeda. Aku ingin tahu kabar Laras, ingin memeluknya juga. Pemandangan itu menghangatkan hatiku, menjauhkan semua kecurigaan dan segala pikiran buruk. Aku mengembuskan napasku pelan, memerhatikan Mirza yang kali ini duduk lebih dekat, bicara apa saja.

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang