10 | Siapa pun tahu kalau aku sedang senang

323 80 6
                                    

Tidak ada yang tidak tersenyum di halaman rumah mungil nan asri ini. Faisal yang untuk pertama kalinya tampak kembali bersama Teh Denia setelah rencana perpisahan mereka, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Jangankan Faisal suaminya, aku saja yang melihat Teh Denia sekarang gemas sekali.

Jika biasanya Teh Denia tampak seperti wanita karier dengan blazer dan sepatu hak 7cm yang kian mempercantik kaki jenjangnya, kini memakai dress sebatas betis lengkap dengan sepatu kets. Rambutnya yang biasa terurai itu juga tak menyembunyikan pipinya yang semakin berisi. Wajahnya masih saja cemberut setelah berdebat dengan Faisal yang tidak jujur soal kedatanganku, jauh sekali dari apa yang dikatakannya kalau mereka akan ke dokter kandungan kenalannya.

"Lusa ke dokternya, udah janjian," kata Faisal seraya memakai sepatunya. "Kalau aku bilang Ganis mau ke sini kan ada aja alasannya. Nanti, aku bisa sendiri, ini, itu. Ya kan, Nis?"

Sedikit ragu, aku menganggukinya seraya melirik Teh Denia yang melangkah balik dari mobil mereka sambil membawa payung.

"Isshhhhh Mami cantik banget!" godaku yang membuat Teh Denia berdecak.

Tidak sampai dua pekan dari terakhir kami bertemu, banyak sekali perubahannya. Seperti melihat orang yang sama sekali berbeda.

"Tuh kan, cantik tahu pakai setelan gitu!" Faisal menimpali. "Mau pada di sini dulu atau langsung berangkat?"

Aku melirik Teh Denia dan jam pada ponselku. "Ini kamu baru berangkat kerja?"

"Tadinya nggak akan berangkat. Tapi ini biasa, ada orang pusat. Isunya bakalan handle manajemen Mal yang baru, di Semarang."

"Terus ngambil orang kantor buat di sana, gitu?" tanyaku, masih cukup update dengan segala informasi dari perusaan tempat kerja lamaku itu.

"Iya, rencananya Sita balik cuti melahirkan nanti bakalan ditugasin ke sana. Nah ini yang mau dirapatin."

"Lah?" Setelah bertahun-tahun meninggalkan kantor, masih saja ada hal yang sulit kuterima meski tidak ada pengaruhnya juga untukku. "Terus anaknya gimana?"

"Duh, Nis, panjanglah ceritanya. Nanti aja kapan-kapan," pungkas Faisal terburu-buru menuju mobilnya. "Kabarin aja ya entar?"

Seperginya Faisal, tinggal aku berdua dengan Teh Denia yang dari tadi tidak bersuara. Keberadaanku di rumahnya sekarang bukanlah atas permintaannya ataupun karena kami sudah berjanjian sebelumnya. Tapi Faisal yang memintaku untuk menemani Teh Denia mencari pakaian yang aman digunakannya untuk masa-masa kehamilan. Katanya, sekalian kami mencairkan hubungan kami kembali yang canggung saat terakhir bertemu.

"Aku bawa ke butik kenalanku aja ya?" tanyaku lebih dulu saat Teh Denia mengunci pintu rumahnya. Meski semalam setelah Faisal menelepon aku langsung mencaritahu butik milik Laras, tetap saja aku perlu menanyakannya. Khawatir kalau ia tidak menyukainya, mengingat biasanya kami hanya akan menghabiskan waktu di Mal sekalipun tujuannya untuk membeli baju.

Mendapati Teh Denia yang tidak menjawab pertanyaanku, aku kembali berkata, "Faisal bilang bakalan ada acara tasyakuran juga, kan? Sekalian cari di sana bajunya."

Teh Denia melirikku sungkan. Melihatnya begitu, aku yang semakin gemas dibuatnya. Kapan lagi perempuan anti-romantis yang jarang sekali menunjukkan kehangatan dan kasih sayang bisa seberserah ini padaku?

"Gimana?" tanyaku lagi seraya berdiri, berkaca pada jendela yang memantulkan bayanganku dari kepala hingga sebatas perut. Sedikit mundur, aku memindai penampilanku keseluruhannya, berputar, memastikannya dari setiap sisi.

"Kamu kok mau aja disuruh Faisal?" tanya Teh Denia tahu-tahu membenarkan bagian bawah belakang kerudungku yang terlipat. Aku sedikit menoleh ke belakang, memastikan lagi penampilanku lalu berjalan ke luar.

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang