Kalau Mirza tahu apa yang kubutuhkan, kenapa tidak dia saja yang menemaniku? Ah, Rengganis ... tidak cukup untukku tahu kalau Mirza masih tetap menjadi sebagaimana dirinya padaku meski secara fisik dia tidak bersamaku. Aku tahu jawabannya, tapi, kenapa juga dia harus meminta tolong Taufan? Apa dia tidak tahu kalau kami pernah didekatkan? Lagi pula, tahu maupun tidak, aku sedikit keberatan dengan itu. Ya, sedikit. Sebab langkahku tidak demikian.
Di menit sekarang saat mengabari Taufan, aku merasa sedang berselingkuh rrrrrrrr tapi sedetik kemudian aku bisa biasa saja, bersiap-siap, meninggalkan jauh-jauh kenyataan di belakang kalau Taufan pernah menyukaiku.
Dengan asal aku memilih pakaian; kaos krem yang menenggelamkan badanku serta rok plisket cokelat susu yang senada dengan motif pada kerudung abu-abu yang juga sudah kusiapkan. Aku hampir saja berganti pakaian, mengingat Taufan yang pasti akan membawa motornya untuk menjemputku. Tapi tidak, aku tidak akan kerepotan karena pakaianku. Aku hanya perlu memakai sepatu yang biasa kugunakan untuk pergi dan pulang kantor. Sepatu yang nyaman untuk kubawa berjalan-jalan lama.
Di sela waktu bersiapku, aku masih berpikir untuk mengirimkan pesan pada Mirza. Sejak semalam, bahkan. Apa aku perlu mengabarinya? Apa mungkin Taufan sudah memberitahukannya? Ah, menyebalkan! Aku tidak enak pergi berdua seperti ini dengan Taufan sekalipun atas pinta Mirza. Aku harus menetralisir perasaan ini agar bisa biasa-biasa saja dengan Taufan nanti. Aku hanya perlu berpikir kalau dia kerabat Mirza, temannya Sam juga. Sudah. Tidak lebih dari itu. Seharusnya kami yang sekarang satu kantor, cukup membantuku mengingat bahwa dia orang yang bekerja di perusahaan yang sama denganku.
Ah, sudahlah! Mempertimbangkannya lagi hanya akan semakin banyak membuang waktuku. Aku bergegas mematut diri sebelum melangkah ke luar. Sejenak kulihat isi apartemenku. Yah, sudah waktunya aku pergi. Kenyataan kalau kantorku jauh bukan sekadar alasan. Sambil jalan aku bisa memikirkan apa yang sebaiknya aku katakan saat bertemu Pak Wisnu nanti sembari mengembalikan kunci.
Mungkin karena aku sudah terbiasa juga, aku tidak perlu lagi mengecek jadwal KRL. Aku hanya perlu memastikan kartu transportasiku ada isinya, lalu menuju rute rel kereta yang akan mengantarkanku ke tujuan. Tidak lama menunggu, aku langsung memilih masuk ke gerbong kereta yang sudah cukup penuh. Stasiun demi stasiun yang kulewati, tidak luput dari perhatianku. Kalau tempatku turun terlewatkan, sama saja akan memakan waktuku lebih banyak.
Begitu sampai di stasiun terakhir sebelum stasiun tujuanku, aku langsung mengabari Taufan kalau aku akan segera sampai.
Akhir pekan, tak ada bedanya dengan hari-hari kerja. Stasiun masih saja penuh. Aku bergegas menaiki tangga, menuju ke gerbang keluar. Tahu-tahu Taufan sudah menungguku di dekat tangga. Setelah satu kantor dengannya, biasa melihatnya memakai setelan kerja, sudah lama aku tidak melihatnya yang seperti ini. Dengan pakaian santai, di mana kamu tidak akan bisa menebaknya ke mana tujuannya. Apa dia akan bekerja, bertemu teman atau mungkin sekadar keluar cari angin. Celana kargo krem, kaos putih dan kemeja flanel sebagai luarannya, Taufan sekali."Beneran kamu udah nggak suka saya. Enggak effort," candaku, membuat wajahnya tampak kian sebal setelah paginya di hari libur sedikit berantakan karena harus menemaniku. "Enggak nunggu lama, kan?"
"Lo nggak suka gue karena gue nggak effort?" tanya Taufan serius, tidak menjawab pertanyaanku.
"Fan, enggak gitu," aku menolehkan wajahku, melihatnya selagi kami menuruni tangga. "Kayaknya ini yang bikin saya nggak tahu kalau dulu kamu suka saya. Enggak ada bedanya. Gitu, loh, Fan."
"Ah, paham ... paham. Thanks." Taufan lanjut jalan sementara aku tetap menurutinya. "Terus kenapa di awal tadi bilang gue nggak effort? Lo ngarep gue dandan dan sedikit lebih gaya?"
"Itu-" Aku sedikit salah tingkah. Kupikir, bersikap sesantai itu padanya akan meredakan ketidakenakan dan perasaan canggungku padanya. Tapi salah juga aku mengungkit hal seperti itu. "-uhm ... maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romansa[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...