Tidak sulit mengajak Teh Denia untuk ikut denganku melihat pameran butik Laras. Sepaket dengan Faisal yang tidak akan mungkin membiarkan istrinya berjalan-jalan ke luar kota sendirian, terlebih dalam kondisi hamil. Sepulang dari rumah Mirza, aku langsung menelepon mereka. Sudah lama juga mereka tidak main ke tempatku setelah terakhir kali akulah yang ke Bandung dan mengunjungi mereka.
Dan, di Minggu pagi, usai memastikan Teh Denia dan Faisal sudah dalam perjalanan, sambil beres-beres, aku bertelepon dengan Mirza yang katanya akan menjemputku.
"Masih ingat kan jalan ke tempat saya?" candaku sambil menjemur pakaian.
"Masih, lah, Nis!" Mirza terkekeh. "Acaranya jam berapa, sih?"
"Acaranya tuh sore. Tapi kita makan siang di luar aja. Teman saya udah berangkat dari tadi, takutnya mereka yang malah nungguin. Capek-capek dari Bandung, masih disuruh nunggu juga. Kan enggak lucu."
"Heum ... oke. Saya harus pakai baju apa? Bakalan ke mana aja? Ngapain juga?"
"Ih, biasa aja, Mirza!" Aku tidak bisa menahan kekehanku. "Kayak kalau mau hangout aja. Santai."
"Oke. Terus, teman kamu itu tipikal yang gimana?" tanya Mirza lagi dengan serius. "Dia orangnya santai nggak? Lebih tua dari kita atau sebaya? Sosok orang tua atau masih pasangan yang baru nikah, gitu?"
Kali ini aku semakin tidak bisa menahan perasaan gemasku. Mirza tidak kedengaran khawatir ataupun tidak percaya diri. Hanya saja, jelas sekali kalau dia ingin menyesuaikan semuanya. Yah ... iya juga, sih, Mirza memang pandai menyesuaikan diri. Aku sangat mengaguminya soal ini sampai sekarang. Tapi setelah cukup lama bersamanya, aku selalu ingin kalau Mirza sendiri yang punya keinginan alih-alih menuruti apa yang ada.
"Nis...."
"Enggak usah dipikirin. Cukup jadi kamu aja," Aku menarik napasku dalam-dalam. "Kamu yang sama saya ... saya yang temannya mereka." Beberapa detik, aku tidak mendengar suara Mirza. "Cukup jadi kamu aja, Mirza...." Sekali lagi aku menekankan.
"Makasih ya...."
Aku tidak tahu pasti apa yang Mirza alami kenapa ia bisa jadi seperti itu. Apa mungkin sejak kecil dia terbiasa diarahkan orangtuanya dalam banyak hal? Atau mungkin, apa bersama Laras dulu, perempuan itu banyak mengaturnya? Ah, kenapa aku masih saja terganggu dengan perempuan itu setelah tahu kesulitan yang sedang dialaminya?
"Oh iya, kamu mau pakai baju apa? Yang kayak gimana?" Aku teringat permintaan Mirza tempo hari. Sekarang, biar aku yang menyesuaikannya.
"Bagusnya yang gimana?" tanya Mirza. "Kamu sempat lihat lemari saya nggak, sih, waktu ke sini?"
Pertanyaan Mirza mendadak membuatku canggung. Kedengarannya terlalu privasi. Ya ... memang, aku melihat beberapa pakaiannya yang digantung rapi berjajar. Hanya beberapa pakaian formal dan selebihnya pakaian yang bisa dipakainya bepergian santai dan kerja sekaligus mengingat pekerjaannya yang juga bernuansa santai dan menyenangkan khas anak muda.
"Uhm ... yang gimana aja. Bagus kok buat bepergian santai gini," jawabku diplomatis. "Saya nanya tuh karena mau menyesuaikan sama yang kamu pakai. Kali aja ada yang lebih spesifik."
"Ya Allah...." Meski samar, aku bisa mendengar Mirza berseru. Lelaki itu pasti menjauhkan ponselnya. Apa mengikuti kemauannya seperti ini, lengkap dengan aku yang menyesuaikannya, itu menyenangkan untuknya?
"Halo ... saya masih di sini loh, Mirza!"
"Hahaha ... maaf, maaf." Suara Mirza kembali terdengar lebih dekat. "Kemarin kemarin kalau keluar bareng enggak pernah jomplang. Enggak usah janjian aja deh kalau gitu," kata Mirza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romansa[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...