32 | Titik Temu

318 55 20
                                    

A/N:

Di awal, aku udah bilang kan kalau ini sekuel? Jadi, bakalan lebih baik kalau teman-teman emang baca Inspirasa buat masuk di bagian ini.

Sekalipun enggak (baca Inspirasa), menurutku masih bisa dimengerti sih kalau emang kamu nyimak detail-detail kecil di cerita ini~

Selamat baca!

*****

Tebak, apa yang aku lakukan selama Mirza pergi? Dengan jelasnya hubungan kami, sekiranya, apa yang tetap aku usahakan? SKSD dengan ibu kos yang tak lain adalah kerabatnya Mirza? Oh, tentu saja tidak. Di kosan, aku hanya tinggal tidur. Mana sempat cari perhatian dan unjuk diri? Bertemu kerabatnya yang lain, yang sudah dikenalkannya padaku, itu juga tidak. Main ke kantornya, atau ke rumahnya sekalian, tidak juga.

Menurutku, tidak merecoki Mirza dan pekerjaannya adalah bentuk usahaku. Tidak rewel minta dikabari, meneleponnya terus menerus, ingin bertemu atau sampai menyamperinya, aku tidak mau begitu. Untungnya, aku dan Mirza sama-sama butuh untuk saling bertukar kabar. Percaya yang kami sematkan pada satu sama lain, jadi pondasi kuat dari jarak yang terbentang.

Bukan hanya Mirza yang sibuk, aku juga. Ada saatnya aku yang meneleponnya duluan, tapi lebih sering Mirza duluan yang mengabari. Ah, jadi begini rasanya mendapatkan kepastian dan kejelasan. Benar-benar meringankan pikiran. Mau lanjut jalan atau tidak? Masih mau sama-sama atau tidak? Tidak ada kekhawatiran dan berbagai macam prasangka.

Ini sudah lebih dari sebulan, tapi kadang, aku ingin sekali jungkir balik tiap kali melihat cincin perak yang melingkar di jari manis kiriku. Sudah sejauh ini. Aku dan Mirza tiba di sini juga! Aku sudah bilang pada Ibuk dan Bapak, termasuk soal menolak ide Mirza untuk kami menikah dulu sebelum ia pergi. Dan sekali lagi, mereka masih dengan pengertian dan percayanya padaku.

Sebenarnya, aku tidak mau Mirza merasa terburu-buru. Itu saja. Aku sampai membayangkan, kenapa Mirza bisa tiba pada pemikiran untuk segera menikah dan membawaku, pasti karena ia sudah tahu ceritaku dan Kak Ajun dulu. Mirza yang aku tahu adalah Mirza yang serba terencana dan tertata. Tidak ada buru-buru dan ketergesaan dalam kamusnya. Aku tidak mau merusak itu. Yang penting sekarang, di pikiranku, aku sedang dalam rencana untuk menikah dengan Mirza. Itu saja.

Aku meraih ponselku, melihat gambar-gambar yang Mirza kirimkan. Apa kegiatannya, bagaimana ia menghabiskan hari. Rasanya, lebih banyak Mirza yang mengabariku. Meski begitu, ada saja yang menggangguku. Saat terbesit pikiran-pikiran buruk soal Mirza, aku akan langsung meneleponnya, yang kemudian mengembalikanku pada ucapan yang sering kami katakan satu sama lain; aku percaya kamu. Sebesar itu Mirza percaya padaku, sebesar itu pula aku percaya padanya.

"Eh, bentar, ini Teh Denia nelepon juga. Nanti aku telepon lagi ya?" kataku yang langsung dituruti Mirza dan langsung beralih menjawab panggilan Teh Denia.

"TANTE NGIRIM APA NIH BUKANNYA NENGOK AKU?!"

Suara Teh Denia dari teleponku yang terhubung dengan Faisal, membuatku tertawa. Pasti hadiah kirimanku sudah sampai. Ah, aku merindukan mereka! Bisa-bisanya aku lupa kalau Teh Denia sudah melahirkan. Kalau bukan karena bertukar pesan dengan Teh Naya yang bertanya kapan aku bisa pulang-karena katanya ada oleh-oleh untukku dari Makkah-sampai membicarakan banyak hal, aku pasti tidak akan tahu kalau anak Teh Denia sudah mau jalan tiga bulan. Ke mana saja aku selama ini? Jarang sekali buka status Whatsapp, apalagi media sosial. Sudah lama juga aku tidak bertukar kabar dengan Teh Denia maupun Faisal.

"Aku lagi banyak kerjaan banget, nih. Udah lama juga nggak pulang," jawabku, masih melihat penampakan rumah Teh Denia dan Faisal di layar ponselku. "Aku beneran lupa. Maaf...."

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang