Pernahkah kamu membayangkan kalau perasaan hangat dan tenang saat bertemu seseorang, berganti dengan perasaan takut? Bukan, bukan takut yang menyeramkan. Bukan pula takut yang sampai membuat bulu kudukmu meremang, juga bulu-bulu halus pada tanganmu seketika berdiri. Dan bukan juga takut yang membuat keningmu mengeluarkan keringat dingin, membekukan tubuh atau disertai demam yang mendadak.
Aku memandangi Uwak Nurul yang membaca kalam Allah dengan posisi ranjang sedikit dimiringkan. Sudah lama aku tidak mendengarnya. Biasanya, ini akan jadi pengantarnya sebelum memberikan ceramah. Yah, sebenarnya Uwak Nurul kurang suka disebut sebagai penceramah maupun ustazah. Baginya, mengaji bersama ibu-ibu komplek atau ke manapun Uwak Nurul menjadi pemateri, adalah belajar juga untuknya. Di Pamflet kajian-kajian, kalau diperlukan, Uwak Nurul memilih menyertakan gelarnya sebagai Sarjana Pendidikan Agama saja, menolak halus disebut ustazah meski itu artinya guru yang juga sama saja.
Saat sampai tadi, Ibuk menyuruhku masuk menggantikannya, sementara Ibuk pamit untuk salat Zuhur. Uwak Yana yang katanya menjaga Uwak Nurul semalaman kemarin sedang pulang untuk sekadar istirahat dan berganti pakaian, lalu kembali lagi menjelang malam nanti bergantian dengan Ibuk yang pulang. Aku tahu ini sesuatu yang biasa untuk Uwak Nurul, bolak-balik Rumah Sakit karena ini dan itu. Tapi ini terlalu lengang. Atau hanya aku yang kesulitan untuk berhadapan dengan Uwak Nurul berdua saja seperti ini setelah ketidaknyamananku di pertemuan terakhir kami.
"Udah salat, Neng?" tanya Uwak Nurul sembari menutup Quran-nya, meletakannya kembali di nakas.
"Udah, Wak. Tadi salat di sini juga begitu nyampe," jelasku. "Ayung ...." Aku menoleh ke arah pintu, berharap sekali kalau anak itu kembali masuk meski sepertinya tidak mungkin.
"Biarin aja, Neng," Uwak Nurul jelas tahu maksudku.
Sepertinya benar kata orang-orang, selagi manusia hidup, masalah itu akan selalu ada. Tergantung bagaimana kita menghadapinya. Bagaimanapun aku mengerti itu, paham kalau manusia hidup berdampingan dengan masalah, bukan berarti aku bisa menganggapnya biasa. Dari satu masalah ke masalah lain. Dari khawatir dengan kemunculan Mirza di depan saudaraku yang lain, berganti dengan Lembayung yang sisi lainnya baru kali ini kulihat. Anak perempuan satu-satunya Uwak Nurul itu memilih duduk di luar bersama Gladia dan Sam setelah melihat ibundanya ini barang sebentar. Sedikit senang karena Mirza juga bersama mereka, mengobrol yang entah apa. Tapi Lembayung sepertinya memang sangat menghindari situasi ini.
Saat datang tadi aku langsung membiarkan Mirza mengobrol dengan Sam yang menyapa duluan. Gladia yang tersenyum-senyum meminta ceritaku, dengan senang hati mempersilakanku mengikuti Lembayung yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan sang ibunda. Tak lama berselang, Ibuk keluar, menyapa Mirza sebentar kemudian menyuruhku untuk menggantikannya sebentar karena Lembayung ikut pamit untuk membeli minum yang kuyakin hanya alasannya saja.
Tidak tahu bagaimana jika aku di posisi Lembayung nanti. Tapi aku mengerti kenapa anak itu bisa sedingin dan sekeras ini. Yah, seperti batu yang membiarkan dirinya dikenai tetes demi tetes air, kemudian kering dimakan musim dan massa. Bukankah batu yang sedemikian kering itu juga akan bisa rapuh? Saat langkah demi langkah melewatinya, juga pijakan yang bertumpu padanya. Ah ... berat sekali. Sudah seharusnya aku mengalah saja dengan sikapnya.
"Neng, Mirza itu siapa?" tanya Uwak Nurul tiba-tiba. Pastilah Lembayung yang bilang kalau dia berangkat kemari denganku dan seorang lelaki yang entah dijelaskannya bagaimana.
"Oh, itu ..." Seharusnya aku tidak perlu ragu juga mengatakannya. "Lagi dekat, Wak. Insya Allah calon suami," ucapku sedikit tertahan mengingat omonganku pagi tadi pada Mirza.
Uwak Nurul tersenyum kecil, mengangguk-ngangguk. Wanita yang usianya semakin menunjukkan diri dalam setiap perubahan tubuhnya itu membenarkan posisi, membuatku bisa lebih jelas melihat badannya yang juga semakin kurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romance[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...