Pernah nggak kamu ngebayangin kalau aku bakalan ketemu orang lain yang juga lagi dalam masa pulihnya setelah hubungan dengan sepupunya berakhir? Sekalipun kasusnya sama, nggak tahu kenapa, aku merasa jauh lebih beruntung.
Karena lihat dia, setelah dengar pengakuannya yang menurutnya penting buat bisa terus lanjut, aku jadi ingat kenapa aku bisa suka kamu bahkan berpikiran untuk bisa menjalin hubungan. Saat itu aku sendirian. Selalu sendiri. Bapak dan Ibuk dengan pekerjaannya, dan aku si anak tunggal yang tidak punya teman. Sampai aku dewasa pun, segala yang aku punya bikin aku nggak punya teman.
Aku sama sekali nggak bisa dan nggak akan pernah menyalahkan Bapak dan Ibuk juga karena mereka yang bikin aku punya semua itu. Aku nggak akan bisa beli mainan yang nggak dipunyai orang sebayaku di lingkunganku kalau aku bukan anak mereka yang hidupnya mapan. Aku juga nggak akan punya ruang dan waktu buat belajar lebih banyak, diikuti les, sibuk sejak kecil dan jauh dari yang namanya bermain.
Dewasa ini aku berpikiran, sendirinya aku, mungkin saja karena aku tumbuh di lingkungan yang membuatku berbeda, menjadikan aku lebih tinggi dan lebih cemerlang dari yang lain. Saat itu, aku juga tidak merasa perlu untuk membuka diri pada yang lain, menyesuaikannya. Aku lebih suka melihatmu yang bersinar dan cemerlang. Kagum alih-alih iri melihat kamu yang kelihatannya biasa saja dengan yang kamu punya, jadi topik hangat tiap kali kumpul keluarga. Bapak dan Ibuk tidak meginginkan aku untuk bisa sepertimu. Bagi mereka, cukup dengan aku yang bisa hidup dengan baik. Mereka sudah bangga dengan apa yang mereka jalani tanpa perlu menumpangkannya pada pundakku. Hanya saja, aku senang melihatmu, selalu ingin bisa sepertimu.
Setiap keingintahuanku tentang apa yang sudah kamu lakukan sampai bisa meraih mahkota di atas kepalamu, mengantarkanku untuk bicara padamu. Rasa penasaran tentang apa yang kamu kerjakan sampai bisa membuat kedua sayap itu menerbangkanmu, membawaku untuk bertanya padamu. Dan segala keinginanku untuk bisa jadi sepertimu, menjadikanku lebih dekat denganmu.
Bagimu yang ramah, aku hanya adik kecil yang ingin tahu. Bagimu yang lapang, aku hanya anak perempuan yang penasaran. Dan bagimu yang tenang, aku hanya berisik yang meramaikan. Sampai dewasaku yang kekanakan, bagimu tak lebih dari perasaan butuh. Beraniku yang menakutkan, tidak juga membuatmu pergi. Dan warna-warniku yang kian kelam, tidak kamu biarkan memudar.
Sebelum kamu pergi, kamu selalu bilang ini; Aku nggak selalu bisa sama kamu. Sebab tidak selalu ada kamu yang waktu itu sibuk. Kamu juga bilang; Jangan bergantung sama manusia. Karena pada akhirnya aku hanya akan memerlukan diriku sendiri. Sampai akhirnya kamu pergi, kamu meninggalkanku dengan segala hal yang tanpa sadar perlahan kamu siapkan.
Enggak tahu gimana jadinya kalau waktu itu kamu terus melimpahkan kasih sayang dan segala perhatian padaku. Menuruti segala kemauanku, mengikuti apa pun yang aku inginkan. Aku beruntung.
Sekali lagi, aku menangis karena laki-laki. Buku yang sebenarnya tidak ingin kembali kubuka itu lagi-lagi jadi tempat ceritaku. Berhari-hari bertarung dengan pikiran yang dipenuhi akan keingintahuanku soal Mirza, berasumsi segala macam, aku kalah juga. Setelah membalas pesan Mirza seadanya, tidak menjawab teleponnya, sampai akhirnya berada di sini setelah membaca pesan darinya yang meminta maaf telah mengganggu, bertanya apa aku sedang sakit, sibuk, apa pun itu, aku benar-benar kalah.
Rengganis A. Satya
Saya lagi mikir
Jangan balas ini
Segera saya kabarinSeharusnya, setelah Laras dengan kurang ajarnya memberitahukanku soal kesakitan Mirza, aku langsung menghubunginya. Payah. Perasaan beruntung atas sosok seperti apa yang meninggalkanku dan orang-orang yang tetap bersamaku jauh lebih mencuri waktu dan perhatianku. Kembali berkaca dengan apa yang sudah aku lalui, seperti dininabobokan oleh semua kebaikan yang aku dapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romance[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...