22 | Dia si Perencana

292 69 9
                                    

"Ini tempat makan yang kamu maksud?"

Kami memutuskan untuk pergi makan siang dulu berhubung di rumah tidak ada apa-apa, juga Mirza yang hanya sarapan tadi pagi menikmati panekuk buatan Fathya, adik sepupu Laras. Sebelumnya aku tidak memikirkan bagaimana hubungan Mirza dengan Laras. Tapi, bagaimana dekatnya Mirza dengan keluarga Laras yang lain, yang sama sekali tidak satu garis keturunan dengannya, aku terpikirkan kalau Mirza sudah sebegitunya dianggap keluarga. Di satu sisi sedikit cemburu konyol karena fakta tersebut. Tapi di sisi lain, bukankah kalau mereka bersama akan luar biasa canggung? Hhhhh pernah berada dalam posisi yang sama tidak seharusnya membuatku merasa lebih beruntung.

"Ih, ngelamun!" Mirza selesai memarkirkan mobilnya. "Kenapa sih? Dari tadi, dieeeemmmmmm aja! Soal Laras?"

Aku menggeleng, membuka sabuk pengamanku. Bohong kalau aku tidak kepikiran soal itu juga. Tapi tidak. Ada baiknya aku menahannya sebentar saja. Ini bukan waktunya.

Cukup banyak yang aku pikirkan. Selain obrolanku dengan Ibuk tadi pagi, tentu saja soal pekerjaanku juga. Yang terburuk adalah kemunduranku. Akan jadi apa aku nanti kalau tidak menerima tawaran Pak Wisnu? Terlebih kalau dibandingkan dengan Laras. Aku percaya diri dengan rupaku. Tapi untuk nilai? Aku ketinggalan jauh. Laras yang berbisnis, kuliah di luar negeri dan tampak sangat baik pemahaman agamanya. Sementara aku-sejauh ini, aku benar-benar jauh.

"Nis," panggil Mirza yang dengan mudah menangkap ketidakberesanku.

"Ini salah satu tempat yang bikin aku berkaca gimana aku sepuluh tahun ke belakang," kataku mulai bercerita, sesuatu yang tidak banyak mengisi ruang pikiranku sejak bersama Mirza. "Gimana hubungan aku sama laki-laki. Hubungan percintaan," tawaku geli karena bahasaku, juga pembahasan yang kuangkat di tengah situasiku yang tidak baik-baik saja.

"Uhm ... kalau gitu, aku laki-laki ke berapa yang makan sama kamu di sini?"

"Agak gimana ya pertanyaannya," ujarku berlagak jijik yang dikekehi Mirza. "Kayaknya empat deh?" Aku sedikit ragu, keluar duluan dari mobil dan langsung meregangkan badan. Sudah lama tidak makan di tempat ini. Restoran sederhana yang menyuguhkan masakan rumahan. Kebanyakan pengunjungnya pekerja ECO-Mall, dengan berbagai macam seragam dan obrolan.

"Empat?" Mirza tiba-tiba di sebelahku. "Siapa aja?"

"Iya, empat. Kak Ajun, Faisal, kamu, sama-" Pandanganku jatuh pada bengkel yang semakin besar. Sudah semakin berkembang. "Ada, satu orang lagi. Aku ngerasa buruk banget kalau ingat hubunganku sama dia sampai akhirnya putus."

"Kenapa?"

"Enggak, lah. Drama," jawabku, enggan menjelaskannya lebih lanjut. "Makan yuk. Lapar, nih, beneran!"

Sekarang restoran ini menyediakan paket all you can eat juga. Tempatnya di halaman belakang. Faisal dan Teh Denia pernah mengajakku untuk mencoba layanan baru tersebut. Tapi aku tidak begitu bersemangat kala itu.

"Ini bebas pilih duduk di mana aja?" Mirza melihat sekeliling restoran yang cukup ramai. Jam makan siang karyawan. "Di atas aja, gimana? Enggak akan lebih rame, kan?"

Tanpa menjawabnya, aku lebih dulu menuju tangga. Suara langkah kaki yang terdengar membuatku menahan sejenak langkahku. Ternyata lelaki muda yang membawa tumpukan nampan, disusul juga perempuan dengan tangan penuh piring rotan.

"Wah ... ribet juga kalau yang kerja bolak-balik ke atas ke bawah gini naik tangga doang," ujar Mirza yang pandangannya tak putus dari kesibukan rumah makan yang seperti baru di matanya.

"Sekarang tuh udah agak mending," ucapku sambil melihat meja yang sekiranya bisa kami tempati. "Dulu peralatan makannya benar-benar tradisional. Sampai ulekan segala dibawa ke atas. Sekarang yang serba rumahan gitu cuma di saung. Kamu tahu kan, yang kayak pondok gitu bentukannya. Katanya buat all you can eat. Kalau buat ada acara ramean juga. Ada paket-paketnya."

SuarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang