Tidak akan ada yang pernah mengira kalau lelaki di hadapanku ini pernah dalam masalah besar terkait kondisi mentalnya. Lakunya baik, perhatian soal penampilan, kompeten dalam pekerjaannya, pandai mengurus diri, dan bergaul dalam lingkungan yang baik. Siapa yang mengira kalau asal muasal kesakitannya adalah sesuatu yang bersamanya sejak kecil hingga dewasa?
Berpikir soal privileseku yang lahir dan tumbuh bersama kedua orang tua yang luar biasa, aku mengerti kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa 'Rumahku Istanaku'. Bapak yang seperti raja nan bijak dan berwibawa, serta Ibuk bak ratu nan hangat dan penuh kasih sayang. Jadilah aku, anak satu-satunya yang sebenar-benarnya putri. Dengan kitab suci yang jadi pedoman hidupnya, Raja dan Ratu menjadikan istananya damai dan menenangkan.
Masalah yang sang putri hadapi, semua hanya karena kesendirian dan rasa penasaran. Beruntung ia kembali pulang dengan raga dan akal yang masih sangat baik. Lebih beruntung lagi karena raja dan ratu yang menyambutnya pulang setelah banyak doa dan usaha yang dipanjatkan, dengan percaya yang disematkan, mengerti dengan apa yang dihadapi sang putri di luar sana.
"Masih pagi, ih!" Mirza yang menyenggol lengan yang kujadikan tumpuan kepalaku, tersenyum geli melihatku yang masih memasang wajah melamun.
Angin pagi yang kurasakan di halaman kantor Mirza sangat mendukung lamunanku. Sinar matahari juga tidak begitu terik. Ditambah lagi bau tanah yang baru disiram, tanaman-tanaman yang terawat, juga kucing yang dibiarkan ilir-mudik. Ini kedua kalinya aku ke kantor Mirza setelah pertama kalinya karena pekerjaan. Saat datang tadi, kalau tidak melihat Mirza yang datang dengan sepedanya, aku ingin sekali balik badan setelah berpapasan dengan beberapa karyawan yang pelatihannya kuurus waktu itu.
"Enak nggak isian rotinya?" tanyaku, melihat Mirza yang masih menikmati sandwich yang kubawa, memastikan kalau makanan olahanku cocok untuk lidahnya.
Mirza mengangguk setelah meminum air mineralnya. "Kamu emang suka pedes banget?"
"Kenapa? Itu kepedesan ya?"
"Sedikit," jawab Mirza sambil berdeham dan minum lagi. "Tapi enak kok."
Sepertinya aku lebih banyak menuangkan saus cabai ketimbang mayonnaise dan saus tomat. Yah ... beda selera.
"Dagingnya yang pedes," kata Mirza, mematahkan asumsiku. "Lada hitam-nya berasa banget. Marinasinya pakai apa aja?"
Fokusku beralih dari masakanku pada penjelasan Mirza yang begitu rinci. "Kamu suka masak sendiri?" tanyaku, tidak ingat kalau waktu belanja bulanan sama-sama kemarin Mirza belanja bahan masakan. "Tahu-tahuan lada hitam sama marinasi segala," ledekku yang sebenarnya takjub. Lemah sekali standar penilaianku soal hal-hal seperti ini pada lelaki.
"Nanti jadi ke rumah, kan?" tanya Mirza, mengingatkan rencana yang sudah kubicarakan dengannya beberapa hari lalu, kalau dari kantornya aku akan langsung ke rumahnya berhubung ini Jumat terakhir aku tidak bekerja sebelum kembali sibuk dengan proyek pelatihan karyawan.
"Uhm ..." Aku pura-pura menimbangnya, padahal rencanaku sudah matang. Aku ingin melakukan ini, itu, dan lain sebagainya. Tidak terganggu sama sekali dengan Mirza yang mendadak bilang kalau dia akan ada rapat dulu, yang menjadikanku sendirian saja ke rumahnya.
"Kayaknya, macam-macam saus di lemari cukup deh buat saya ngaku-ngaku suka masak sendiri," kata Mirza, enggan dikerjai. "Ada yang udah mau habis juga kayaknya. Minggu nanti free nggak?"
Tidak menjawab pertanyaan Mirza, aku bangkit dari dudukku, sedikit berjinjit melihat ke dalam kantor yang harus kulalui lagi sebelum pulang. Tampak beberapa karyawan yang mencuri pandang ke arah kami, namun kemudian bubar begitu aku tidak memalingkan wajah dari melihat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suarasa
Romance[Sekuel INSPIRASA] Pernahkah kamu membayangkan bagaimana orang-orang melanjutkan hidupnya sepeninggal insan terkasih yang tidak akan pernah kembali pulang? Mereka yang ditinggalkan anak yang paling dibanggakannya, yang menjadi patokan keberhasilan m...