Suatu Hari di Atas Awan

29 2 0
                                    

Meminjam kata-kata milik Pablo Picasso, segala yang dapat kamu bayangkan adalah nyata.

Ketika aku masih mengenyam masa taman kanak-kanak, aku tersadar bahwa ada banyak sekali yang kubayangkan dalam kepalaku yang mungkin dahulu belum sekeras kini. Hal yang lebih aneh daripada itu semua adalah fakta bahwa aku masih ingat satu persatu bayangan dan khayalanku sendiri.

Seperti halnya butiran hujan yang jatuh ke bumi, aku sempat mengira bahwa tiap manusia lahir dari langit. Meringkuk dengan lelap di atas awan beratap angkasa. Lalu, Tuhan mengutus angin—menyampaikan pesan bahwa waktu yang telah dijanjikan telah datang.

Lalu, setelah beranjak lebih dewasa, aku mendengar sebagian orang menyebut hidup adalah anugerah.

Hati kecilku bertanya-tanya, mengapa, siapa, dan kapan bisa menyebut hidup itu anugerah. Faktanya, aku menemukan beberapa orang tidak menganggapnya demikian.

Pun aku.

Apakah hidup dengan suatu pilihan antara baik dan buruk yang entah mengapa sering membuat kita tersesat adalah anugerah?

Aku yang masih tidak mengerti lantas tak henti bertanya-tanya, kalau tujuan hidup adalah untuk beramal shalih mengapa manusia harus diberikan pilihan untuk berbuat sebaliknya?

Mengapa harus ada dua cabang jalan dalam sebuah perjalanan?

Bukankah telah jelas di sini bahwa anugerah adalah saat aku tidak dibangunkan dalam tidurku, saat aku masih nyenyak tertidur di atas awan.

Bodoh.

Itu adalah aku.

Dengan segenap pemikiran egoisku.

Maka, perlahan-lahan, untuk saat ini, aku menemukan setidaknya beberapa jawaban atas pertanyaan dan pemikiran bodohku.

Salah satunya, daripada terus terlelap di atas awan. Aku mestinya lebih bersyukur karena Tuhan mengganti apa-apa yang hilang dengan yang lebih baik; pangkuan ibuku yang berjuta-juta kali lebih menenangkan.

Dan sejak itu, aku tak lagi merindukan awan.

Pesan-Pesan KaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang