Sebagaimana dia telah memperkenalkanku kepadamu, pun aku akan memperkenalkan dia pula.
Dia, Deva. Seorang remaja sederhana yang aku rasa dia tidak takut pada apapun dan siapapun di dunia ini. Karena segala ketakutan yang pernah ia miliki, telah ia coba taklukan dengan begitu hebatnya.
Kupanggil ia Deva sebagaimana mestinya, manusia terkeren yang rusuknya boleh jadi didesain khusus oleh Tuhan sebagai bentuk keistimewaannya; yakni lebih kokoh dari rusukku.
Dia pernah bilang padaku bahwa waktu akan terus berjalan. Maka, segala bagian menyedihkan pasti memiliki akhir.
Aku mencatatnya entah telah yang ke berapa kali. Saat itu, ia terkesan menghiburku; berusaha menenangkan ketakutkanku perihal perpisahan.
Tapi, hal yang mungkin hingga sekarang ia tak sadari ialah aku yang tahu secara pasti bahwa kata-kata itu sejatinya ia tujukan untuk dirinya sendiri; untuk mendamaikan resahnya yang tak seperti aku—ia tak pernah ingin tunjukkan pada siapapun.
Deva, cukup kupanggil demikian. Ini sedikit menggelikan, tapi aku menyayanginya melebihi diriku sendiri. Aku sempat berpikir, aku selalu mau dia berada di sisiku. Semata-mata agar aku bisa menjaganya, senantiasa memastikan ia dalam keadaan baik di dunia yang jahat ini.
Aku selalu berpikir, dunia terlalu keras untuk Deva yang lugu, tulus, dan keras kepala. Sampai Madiun membawanya pergi jauh dariku, aku tersadar bahwa di sana ia telah menaklukan segala hal yang bahkan hingga saat ini tak bisa kutaklukan.
Maka, sekarang aku bertanya-tanya. Aku tetap ingin ia berada di sisiku, tetapi alasan apa yang bisa kugunakan selain ingin menjaganya dari banyak hal yang nanti mungkin dapat melukai ia? Deva telah tumbuh dengan baik di kota itu.
Ia menjadi semakin kuat di saat orang-orang tak berhenti melemparinya batu. Bukannya roboh, ia tetap memilih kokoh.
Deva, aku malu sebenarnya kalau mengingat itu. Menjaganya dengan baik adalah pekerjaan yang selalu tumbuh di hatiku, aku masih saja mengira bahwa ia rentan dan rapuh meski berkali-kali gadis itu berusaha menunjukkan kebolehannya dalam membentengi diri.
Dan tiap aku menyadari hal itu, aku tak bisa memungkiri bahwa ia jauh lebih kuat dibandingkan aku.
Deva, kuperkenalkan ia dengan sejuta rasa bangga. Seperti halnya ia meyakini bahwa Tuhan pastilah begitu menyayangiku, pun aku memiliki keyakinan serupa; Tuhan menciptakan dua janin dalam satu rahim untuk mendapatkan kasih-Nya secara sama rata. Cara Tuhan mencintaimu unik sekali kukira, sebab Tuhan tak memberikan secara langsung kemudahan untuk mencapai bahagia seperti ia kepadaku. (Aku tahu, dia pasti beberapa kali merasa bahwa hidup tidaklah adil sebab aku terlalu mudah menemukan bahagia, sedang ia harus berusaha mencari)
Tetapi, Deva—kuberitahu padanya hari ini. Cara Tuhan mencintainya bukankah indah sekali? Ia menempa Deva secara langsung melalui tanjakan-tanjakan terjal, yang kemudian membuat gadis itu lebih mahir menguasai diri dan memiliki kemampuan lebih dalam menjelajahi hal-hal yang lebih besar—yang nantinya akan ia hadapi. Barangkali cara Tuhan mematahkan senyum dan tawa Deva hari itu ialah isyarat bahwa senyum dan tawanya terlalu berharga; yang tak dapat ditebus dengan peristiwa-peristiwa murah.
Aku percaya sekali, Deva akan menjadi orang yang hebat—seumpama pedang, ia terasah dengan baik. Tajam dan dingin, tapi tak akan pernah menikam siapapun.
Deva, ingin kuperkenalkan ia pada penjuru semesta. Andaikan mereka tahu sisi lain dari manusia putih itu, maka tak akan dapat mereka temukan sosoknya dalam batang tubuh manapun; aku sekalipun.
Karena itulah Deva.
Dengan segala yang ia miliki, ia sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan-Pesan Karam
PoetryAda pesan untukmu; Sekantung terima kasih yang terbungkus dengan kain maaf paling tipis ‐---‐ Jurnal harian ini ditulis untuk mengeluarkan setidaknya sedikit dari banyaknya yang memenuhi isi kepala; yang tak pernah sempat mulut lontarkan. maka biar...