7. Berkencan Di Venesia

112 21 0
                                    

"Betapa indahnya!" Betty mengambil baju tidur dari tumpukan barang dan mencoba memasukkan sesuatu yang transparan ke sana.

Aku mengambil kemeja favoritku dari adikku, memasukkannya kembali ke dalam koper, dan meletakkan gaun itu kembali ke tempatnya di lemari. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan untuk dirinya sendiri, tetapi aku tidak akan memakainya.

"Ya Tuhan, Betty, tenanglah," desahku, melihat bagaimana dia rewel. "Aku tidak berencana untuk tidur dengan Peter."

"Tidak apa-apa," katanya sambil mengedipkan mata. "Lagi pula dia sangat tampan. Tidak ada salahnya."

Kemarahanku diinterupsi oleh bel.

"Aku akan membuka pintunya," seru Betty dan berlari keluar kamar.

Aku menutup koper dan memasang ritsletingnya. Suara-suara terdengar di koridor.

"Jadi kau adiknya Elle?" tanya Peter.

"Ya. Betty. Dengar, jangan sakiti kakakku, atau sesuatu yang buruk akan terjadi padamu."

"Menyakitinya?" Peter terkekeh. "Elle sendiri yang mungkin akan mengolesi siapa pun di dinding."

Setelah kalimat itu, aku tidak bisa menahan senyum dan pergi ke koridor. Hari ini, Peter mengenakan jeans biru dan kaus hitam, serta sepatu kets di kakinya. Dan itu gila. Sangat seksi. Bagaimana seorang pria dengan pakaian sesederhana ini namun masih tetap terlihat panas? Aku sendiri tidak terlalu banyak berdandan, memilih skinny jeans biru tua, kaos bermotif bunga putih, dan tank top denim di atasnya.

"Aku siap," alih-alih menyapa, aku malah menyodorkan tasku pada Peter. Dia hanya tersenyum dan keluar.

"Bersenang-senanglah di sana," kata Betty sambil mencium pipiku. "Dan jangan lewatkan kesempatanmu."

"Pasti," aku memutarkan mata padanya, dan menutup pintu di belakangku.

"Kau terlihat luar biasa," Peter memujiku saat kami naik lift. Balasanku hanya berupa senyum kecut. Aku tahu dia hanya berbasa-basi. Lalu wanginya, oh Tuhan! Wanginya sangat menggoda sehingga aku hampir tidak bisa menahan keinginan untuk tidak menciumnya. Semacam obsesi. Aku bahkan harus menggelengkan kepala untuk mengusirnya, mencoba mengembalikkan fokusku. Dan pada saat yang sama aku mengingatkan diriku bahwa perjalanan ini murni bisnis.

Di jalan, Peter mengarahkanku ke sebuah Mercedes hitam. Aku ingin tahu berapa banyak mobil yang dia miliki. Dia dengan senang hati membukakan pintu untukku dan menungguku duduk. Setelah itu, Peter membawa tasku ke bagasi, dan aku memasang sabuk pengaman dan bersantai. Aku tidak ingin berbicara. Rupanya, dia mengerti itu, karena dia dengan tenang duduk di belakang kemudi, menyalakan mobil, dan kami berangkat. Kami harus berkendara selama sejam ke bandara Heathrow, dan diam selama ini juga bukan pilihan. Aku hanya dapat mendengarkan radio, yang dihidupkan oleh si pengemudi. Di luar panas, sekitar dua puluh tiga derajat, jadi aku membuka jendela dan melihat pemandangan berubah. Ada sedikit kemacetan lalu lintas di London jadi kami agak terlambat untuk penerbangan. Diam-diam, aku berdoa agar perjalanan ini batal.

"Katakan padaku, apakah kau senang pergi denganku?" Peter menyela nirwanaku, sambil berjalan melewati bagian imigrasi. Kami sudah melakukan boarding, yang berarti doaku sia-sia.

"Apakah aku punya pilihan?" Aku mengerutkan kening padanya.

"Jadi, kau mengorbankan diri demi kemakmuran perusahaanmu?" Ada nada kesedihan dalam suaranya.

"Oh tidak. Tentu saja, aku dapat mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan penawar baru, tapi tidak pada level yang sama," sarkasme mengalir dariku.

Dia mengerti apa yang ingin aku katakan.

Love Under The Gavel  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang