[Zade pov]
Sudah dua hari setelah kejadian si gadis berjilbab coklat. Kepalaku masih memikirkan baju koko putih kesayanganku itu. Wajahku selalu berbeda keteika mengingatnya, yah begitulah yang Arthur katakan. Berkali-kali ia bertanya " antum kenapa?" berkali-kali juga aku ceritakan kejadian buruk itu. Arthur mengangguk saja, tersenyum santai.
Berbanding terbalik denganku, Arthur ini seorang lelaki (sok) kalem. Ketua OSPA (organisasi santri pesantren Al-karim) di ma'had ini. Wajahnya ke arab-araban. Aku yang laki-laki saja sering silau melihat wajahnya -tolong jangan salah artikan- kami ini rival sejati sejak dini. Berlomba-lomba menjadi yang terunggul, tapi ibarat anak tangga dia selalu lebih satu di atasku. Ya.. contoh nya dia ketua OSPA dan aku menjadi wakilnya mungkin karena dia lebih serius ketimbang aku. Omong-omong, dia teman yang baik, selalu menyemangati dan mentraktir di kala dompetku kosong.
Saat sedang duduk santai di balkon asrama, seorang santri berpakaian putih membuyarkan lamunanku. Jadi teringat baju kokoku akh... aku mendecih kuat-kuat. Kesal sekali. Haduh, dendam batin kalau begini. Arthur menggeleng-geleng menutup kamusnya.
"kenapa lagi de... si Nada?"
Aku mendelik, kaget, bukannya aku tidak pernah menyebut nama si gadis jilbab cokalat itu?, barulah aku tau setelah Arthur cerita, kalau si gadis itu (Lagi-lagi) menabraknya, Arthur membantunya memncari parkiran dan nama "Nada" tertulis besar-besar di belakang jilbabnya.
"akh... benarkan gue bilang !!! dasar aneh! Pengen rasanya balas dendam arrgggg!!" Arthur terkekeh canggung, menatapku yang seperti orang gila. Mungkin baginya memalukan dilihat adik kelas. Tapi tolonglah, aku sedang kesal dan harus berteriak agar lega. Bodo amat dengan sekitar yang penting batinku sedikit enakan (meskipun tidak)
"perasaan antum mikirin terus, hati-hati jatuh....." Arthur membuat bentuk hati di dada, aku pura-pura muntah.
"yang benar aja, kalau sampai gitu gue ajak lu keliling Sydney thur," ucapku tak terima. Arthur mengadahkan tangan seperti berdoa, kepalanya melihat ke langit, kemudian menutup mata.
"amiin ya Allah hamba pengen kesana" karena aku kesal. Aku lepas kopiah dan kugampar punggung Arthur. Yang di gampar tertawa saja.
"makin ga mood gue thur," Arthur tersenyum mengangguk-angguk, tapi matanya memperhatikan sesuatu.
"kayaknya ini bikin mood deh" Arthur megajakku berdiri, dan aku mencari apa yang sedang ia pandangi. Ustadzah Sarah, istri kiai kami datang dengan katung hitam kusut di tangannya. Kenap perasaanku tidak enak ya.
"assalamualaikum ustadzah" sapakun dan Arthur. Rupanya beliau tidak sendiri, ada si kecil Ahmad dibelakang, aku pun melambai padanya.
"hah, pas banget. Sehzade, ini ada titipan"
Setelah berkata begitu, ustadzah memberiku kantung hitam kusut itu sebelum akhirnya beliau salam dan pergi tanpa menjelaskan apa-apa lagi.
Aku melihat Arthur yang melihatku, kami sama-sama binggung da penasaran.
"kok aku deg-degan sih de," ucap Arthur, aku mengangguk. Perasaanku sedari tadi tidak enak. "udah ah ngelamunnya cepat iftah!" kenapa malah Arthur yang tidak sabaran, aku menepis tangannya yang hendak mengambil bungkusan. Dia terkekeh pelan, menampilkan gingsulnya.
Pelan-pelan aku buka kantung kusut ini, di dalamnya ada benda dibungkus kertas putih yang kusut. Ribet sekali orang yang menitip ini. Setelah lama aku berusaha membuka lem-lem di kertas.
"woah... ini keren ya?" komentar Arthur, sebenarnya nada pujian itu lebih seperti pertanyaan. Aku mematung, mencoba untuk berfikir. Di kerah baju ini bertuliskan namaku. Tanpa kusuruh, Arthur dengan kepintaran haqiqi mengibas baju lusuh ini. Urg, baunya ingin membuat muntah. Apek sekali, berani-beraninya ada orang yang mengirim Sehzade Adam Sabiq baju apek sedikit lembab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Tembok Pesantren
Teen FictionQotrunnada tak penah menyangka kalau masa mudanya akan ia habiskan di Pondok Pesantren pilihan Abinya. Baru saja menginjakkan kaki di Pesantren, dirinya secara tidak sengaja dipertemukan dengan Sehzade Adam Shabiq, si Waketos yang katanya incaran pa...