[Nada pov]
Dinda senang tak karuan kala aku menceritakan kalau surat yang titipkan kepadaku saat wisuda kemarin sampai ke tangan Arthur. Harus berkali-kali aku meyakinkannya. Yang aku dengar seorang Arthur tak pernah menerima surat dari akhwat, pasti ia tolak mentah-mentah.Tapi kejadian kemarin cukup mengegerkan santriwati terkhusus para penggemar Arthur, sebagian kecewa, kaget, bahkan galau. Aku tak terlalu memikirkan persoalan ini, toh aku juga ga peduli, mungkin Arthur memang suka dengan Dinda.
"Aku bakal nunggu balasan dari Arthur" ucap Dinda girang, kemudian pergi menuju kelas bersama teman-temannya.
"Segitu amat surat diterima" gumamku.
"Dinda memang gitu"
Aku menoleh, gadis berkacamata sudah ada disampingku dengan wajah kusut menatap punggung Dinda yang sudah jauh. Entah dari kapan dia disini.
"Terobsesi banget sama Arthur" gerutunya. Aku hanya bisa tersenyum canggung. Yasmin beralih menatapku intens.
"Lagian kenapa sih kamu mau aja disuruh dia!"
"Ga enak, kakak kelas" kataku. Yasmin mendengus.
"Nada..Nada.. polos banget kamu, kalo disuruh yang ga bener mah di tolak jangan malah mau ora-"
"Ho,oh" aku menarik tangan Yasmin sebelum gadis itu bertausiah panjang lebar.
"Mau kemana?"
"Biasa seblak mang Asep"
"Belum jam istirahat, masih ada satu jam lagi"
"Emang kamu mau belajar kitab gundul min? Cukup deh kepala aku juga hampir gundul liat tulisannya"
Ngartiin bahasa arab aja belum tuntas batinku.
"Iya sih da, tapi kalo ada keamanan gimana?" Aku menghentikan langkah, wajah Ziva qismul amni paling killer terlintas di otak.
"Seremkan?" Yasmin menakut-nakuti seakan bisa membaca isi kepalaku.
"Kabur aja berani, masa bolos satu jam ga berani" ungkapku Yakin kembali melangkah.
"Gue suka gaya lo"
Sesampai di kantin aku dan Yasmin memesan seblak. Kemudian menikmatinya berdua. Setelah habis kami memutuskan kembali ke kelas karena tak tau mau melakukan apalagi.
Keadaan kelas hening, bukan karena sedang memperhatikan guru melainkan para penghuninya sudah tepar tertidur dengan berbagai gaya, ada yang mengukur meja, terlentang di lantai, duduk menganga.
Pemandangan seperti ini sudah biasa kala jam kosong, keseharian yang padat dengan kegiatan membuat santri-santri kecapean. Terkadang aku juga kasihan melihat teman-teman seperti ini, apalagi melihat Laila yang jigongnya sudah meler kemana-mana. Ya..namanya juga sedang berjuang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Tembok Pesantren
Ficção AdolescenteQotrunnada tak penah menyangka kalau masa mudanya akan ia habiskan di Pondok Pesantren pilihan Abinya. Baru saja menginjakkan kaki di Pesantren, dirinya secara tidak sengaja dipertemukan dengan Sehzade Adam Shabiq, si Waketos yang katanya incaran pa...