TIKUS

68 11 6
                                    

Zade POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zade POV

11.30 A.M

Hari ahad. Bukan hari favorit, tapi kapan lagi punya waktu mencuci dan beres-beres.

Aku tidur telentang di kasurku setelah menjemur baju, cuaca diluar lumayan panas membuat beberapa santri melepas baju, bertelanjang dada sambil mengipas-ngipas.

Kadang kala aku membayangkan plafon putih diatas ini adalah langit biru mesir. Bosan berimajinasi, aku mentengkurapkan badan, menghadap teman-temanku.

Ilyas diujung menatap hasil karyanya dengan tatapan bangga. Pasal, lemari Arthur yang seperti kapal sebelumnya titanic sudah rapi tersusun. Ia menyeka keringatnya puas dan tersenyum, berjalan ke arah Arthur menaikkan alis. Arthur paham, merogoh kocek dan memberikan selembar uang kuning padanya. Ya..dia memang tak mau rugi. Untung Arthur dompetnya tebal.

"Syukron ya akhi, senang berbisnis denganmu!" Ilyas terkekeh, mengibas-ngibaskan selembar uang gajinya. Arthur menaikkan bahu, tak peduli dan fokus lagi pada kertasnya, mungkin data-data pelanggaran santri bulan ini.

Sebagai wakil, tentu saja aku ingin membantunya, tapi dia bersikeras ingin mengerjakannya. Alhasil, aku hanya mengumpulkan dan menyerahkan rekapan bulanan itu pada Arthur.

Pernah satu hari, Arthur mengerjakan semua sendiri, maksudku benar-benar sendiri. Tentu saja itu membuatku kesal, seperti tidak pernah menganggapku ada.

Peraturan nomor 1, jangan mengabaikan Sehzade Adam Sabiq.

Tak tahan, aku protes padanya. Aku bilang "Lu sebenarnya nganggap gue apa sih Thur? sana lu kerja sendiri! gausah ngelantik gue kemaren! keren ya lu kerja sendiri!". Aku berharap reaksi marah dari Arthr, tapi dia diam menatap tanpa mengatakan sepatah kata pun dan pergi begitu saja meninggalkanku.

Selama beberapa hari, setiap aku hendak berbicara padanya, dia hanya mengangguk dengan wajah datar.

Yang pintarnya, ku ceritakan permasalahan ini pada Ilyas. Si minang itu mengusap-usap dagunya yang licin, pura-pura berfikir, lalu secara imajiner aku bisa melihat lampu menerang di atas kepalanya beserta bunyi 'ting'

"Gatau gue de, gedeg gue denger lu ngomong"

"JADI LU MIKIR APAAN TADI WOI!"

Yah, pada akhirnya pun aku dan Arthur beraikan sendiri tanpa melakukan apapun. cuih.

"De? ngelamun?" panggilan Arthur membuat aku tersadar. Laki-laki itu menatapku penasaran, tangannya masih menempel dengan kertas-kertas di lantai.

"Eeh ga ada" jawabku cepat.

"Ga mikirin Nada kan kamu?" Arthur terkekeh sedikit mengatakan itu kemudian mengalihkan pandangan pada pekerjannya.

Aku pura-pura muntah.

"Kurang kerjaan banget, mikirin si sedeng. Mending mikir gimana jadi kaya"

Tapi kalau di pikir-pikir, Arthur buat apa
pikir jadi kaya?

Antara Tembok PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang