SURAT ARTHUR

67 15 2
                                    

(Zade POVSekitar lima menit aku menunggui Arthur -yang entah pergi kemana-bersama Ilyas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Zade POV
Sekitar lima menit aku menunggui Arthur -yang entah pergi kemana-bersama Ilyas. Aku mendengus kesal. Pasalnya budak minang ini sudah mondar mandir tak jauh dari depan tenda bazar, menggumam kata-kata yang tak jelas. Bisa-bisanya Arthur meninggalkanku dengan anak ini.

"Lu ngapain sih Yas!" desisku tak sabar. Ilyas diam sebentar, nampak berfikir. Secara imajiner, aku bisa melihat lampu menyala di atas kepalanya saat dia mengacungkan jari tunjuk. Sedetik kemudian dia tergesa berjalan mendahuluiku.

Aku menutup mata, menarik nafas dalam, kemudian berbalik. Orang sabar disayang kyai. Aku mengelus dada, mencoba menghibur diri.

Didepan sana Ilyas bertengger, melipat kedua tangan di meja yang dipenuhi jualan, pura-pura melihat dagangan padahal niat terselubung berkenalan dengan akhwat berkacamata yang tadi sempat ia tunjuk. Aku kembali mengelus dada dan menenangkan diri, berjalan mendekat.

Ilyas senyum-senyum, dapat kulihat raut wajah akhwat itu rada-rada geli tapi ia coba tahan dengan senyum canggung-patut diancungi jempol sebab kalau aku yang jadi dia sudah aku lempar muka Ilyas dengan kuah bakso panas. Aku melihat sekeliling, kalau-kalau ada ustad yang melihat tingkah Ilyas yang abnormal ini bisa bahaya nasib kami berdua.

Aku tekankan sekali lagi, nasib kami berdua.

Karena kuyakin ustad Mukhtar akan menarik saksi mata yang berada di TKP, mungkin akhwat penjaga bazar lain.

"Ekhem, ini berapa harganya?" pertanyaan basa basi-busuk-itu menjadi pembuka yang Ilyas pilih. Jempolnya menunjuk salah satu makanan dengan sopan. Aku tertawa dibatinku, berniat mencari web yang akan menerima organ dalam Ilyas jika aku mengobralnya.

Tidak ada yang menjawab karena fokus Ilyas hanya pada akhwat didepannya. Si kacamata itu melihat ke teman-temannya, mereka menaik-naikkan alis seperti menggoda. Setelah mendengus, matanya mencari yang ditunjuk Ilyas.

"Seribu akhi" jawabnya dengan senyum masam, berbalik dengan Ilyas yang menampilkan senyum termanisnya.

"Yang itu?"

"Lima ribu"

"Ohhh oke oke, itu?"

"Dua ribu"

"Hmmm itu?"

" Seribu!"

Ilyas terkekeh mendengar nada akhwat itu sedikit meninggi. Kepalaku sudah panas, kuberi dia kode untuk segera pergi. Bukan gayaku meninggalkan teman dalam situasi memalukan. Walaupun itu sangat ingin aku lakukan.

Ilyas tak mengindahkan kodeku.

"Kalau yang ini maharnya berapa?"

Aku menutup mata pasrah, mundur teratur sampai ke bawah pohon dan bersandar padanya. Dari jarak sejauh ini pun aku masih juga dapat mendengar pembicaraan unfaedah itu.

Antara Tembok PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang