Nyai bilang, jodoh aku adalah orang terdekat.
Saat ini, orang yang dekat dengan aku cuma Ghava Wicaksono. Teman masa kecilku yang memiliki nasib hampir sama denganku. Lahir tanpa ayah dan cuma ibu yang membesarkan kami. Bedanya, keluarga Ghava bisa menerima nyokapnya, kalau aku, keluarga seakan membuang ibu setelah tahu ibu hamil di luar nikah dengan lelaki pilihan ibu yang tahunya brengsek.
Bedanya lagi, aku dan Ghava. Ibu aku sudah dipangkuan Tuhan, ibu Ghava masih sehat dan melihat Ghava sampai sebesar ini.
Aku hidup dan dibesarkan di panti asuhan dekat rumah Ghava, makanya kami bisa menjadi teman. Kelurganya tak pernah memandang aku anak siapa. Mereka menerima aku, itu sebabnya kadang aku suka lari ke rumahnya setiap kali aku berantem dengan anak panti lainnya.
"Sudah enggak penasaran sama jodoh kamu? Dia belum mati, Gita."
Meskipun Ghava lebih muda dariku lima bulan tetapi aku merasa seumuran. Namun, enggak berlaku buat Ghava, dia malah menganggap aku anak kecil. Dia hanya melihat dari segi postur tubuh tanpa melihat siapa yang ulang tahun duluan. Aku akui, tubuh Ghava sangat atletis dan peluk-able
"Iya tahu, barangkali sudah mati, kan aku enggak perlu repot-repot cari jodoh."
"Dasar. Sudah, aku pulang dulu. Tutup pintu dan jangan lupa, besok aku anter kerja."
"Iya. Salam buat Ibu."
Sekarang, aku hidup sendirian di rumah yang aku sewa yang berjarak 30 menit dari kantor. Aku pilih di sini karena harganya berkawan dengan penghasilan aku yang bekerja di Winner Group sebagai karyawan luar biasa. Sejujurnya ini kawasan perumahan, tetapi berhubung pemiliknya kelebihan harta jadi dia boleh menyewakan rumah dengan harga sesuai kantong penyewa. Katanya, hitung-hitung dibersihkan.
Kadang aku pakai motor sendiri ke kantor, kalau Ghava mau mengantarku kaya besok, aku enggak bisa menolak. Selain irit bensin, aku juga bisa terlihat tidak jomblo-jomblo amat. Terakhir pacaran, tiga tahun lalu. Gara-gara asal-usulku yang tak jelas, orangtua mantanku tak merestui kami. Sejak itu aku terus intropeski diri setiap kali ada cowok yang mendekati.
Seharian jalan dengan Ghava membuat badan aku lelah. Guyuran air hangat dari shower merilekskan otot-otot tubuhku.
Sekarang, tumpukan bantal sudah tertimpa kakiku. Ini cara efektif untuk menghilangkan kaki pegal-pegal bagiku saat ini; posisi kaki lebih tinggi dibanding kepala.
Aku memeriksa gawai untuk memastikan Ghava apakah ia sudah sampai rumah atau belum. Selama hidup berdampingan dengan Ghava, tak sekalipun aku mendengar curhatan dia tentang sakitnya patah hati gara-gara cewek. Aku enggak pernah dengar kalau dia pacaran atau punya gebetan. Padahal dia mendekati kata sempurna soal tampang. Gue mengambil bingkai foto di atas meja kerja yang bersanding dengan kasur.
"Enggak mungkin aku berjodoh sama Ghava, kan?" gumamku. Aku bergidik ngeri jika benar Tuhan menjodohkan aku dengannya. Amit-amit. Aku melihat foto masa kecil kami malah geli sendiri. Langsung aku balik foto yang ada di atas kasur.
Dari dulu badan Ghava memang lebih besar dari aku, makanya dia selalu sok tua gara-gara badannya. Dan aku benci itu.
Dreett!
Satu pesan masuk di gawai.
+62xxxxxxxxx
Aku Nanda.Salam kenal.
Begitukah cara jodoh bekerja. Seharian mencari peramal langsung diberi jodoh nyasar melalui pesan.
Akhh!
Aku baru ingat jika tiga hari lalu, aku mengikuti iklan ramalan jodoh sebelum memutuskan menemui peramal untuk memprediksi cinta untuk diriku yang kelamaan jomblo.
Gawai aku berdering sampai terjatuh di atas kasur saking kagetnya.
Jean Adnan Darmawan, bos—katanya sudah duda yang mengalihkan duniaku. Semenjak menjadi orang kepercayaannya, hidup aku berubah. Semuanya berpusat untuknya. Mingguku, malamku, dan liburku. Semuanya direnggut oleh gila kerjanya. Dia mengalihkan duniaku yang normal menjadi gila karena dituntut kerja keras olehnya.
Mungkin, ini alasan dia bercerai. Istrinya selalu di duakan dengan kertas-kertas yang bikin mumet. Itu sih kabar yang aku dengar pertama kali saat kerja dengannya. Mbak Desi sumber informasi dan gosip yang beredar di kantor.
"Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya? Kurang suka saya telepon?!"
Mana ada karyawan yang suka diganggu diakhir pekannya. Seharusnya malam ini aku bisa tidur nyenyak guna menyambut senin esok. Bukan mendengar suara bosnya di luar kerjaan.
"Maaf, Pak. Saya baru keluar dari toilet."
Alasan aman dari amukannya. Toilet tak bisa diganggu gugat dan untuk saat ini masih aman mengkambing hitamkan toilet.
"Besok saya harus ke rumah sakit terlebih dahulu. Artinya, besok kamu harus siap-siap lebih pagi karena kamu ikut ke rumah sakit."
"Bapak sakit?" tanyaku sehalus mungkin takut salah.
"Kamu nyumpahin saya sakit?"
Kan, aku bilang apa. Sudah berhati-hati saja tetap salah.
"Bu ... bu ... kan gitu maksudnya," kataku terbata-bata. "maksud saya siapa yang sakit, Pak?"
"Anak saya yang sakit, paham!"
"Saya mau tidur." Aku sedikit menjauhkan ponsel dari telinga lagian siapa yang nelpon duluan.
Siapa yang bakal mau dengan duda yang belum move on dari mantan istrinya. Siapa yang mau dengan bos yang selalu menuntut kesempurnaan dalam pekerjaannya. Pak Jean paket komplit soal keminusan. Kelebihannya cuma ganteng dan kaya.
Tak ada yang betah dengannya kecuali aku, si pencari receh demi mengisi perut dan menabung untuk masa depan. Semua mental yang bekerja dibawahnya ciut, cuma aku yang bertahan sampai satu tahun lebih dengannya.
Darah tinggi di usia senja mungkin akan menjadi efek jangka panjang karena menghadapinya suatu saat nanti.
Efek samping bekerja dengan Pak Jean; sulit cari jodoh karena 24/7 dicekokin kerjaan terus.
Setelah mencari informasi prediksi jodohku, Ghava memang yang paling mendekati. Aku saja enggak punya teman dekat cowok selain dia.
Tuhan! Tapi Ghava bukan tipe aku.
Ini cerita terbaru aku. Tolong sukai dan ramaikan hehe. Aku ingetin untuk pencet BINTANG! 🔥🔥🔥
Semoga suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prediksi Cinta
ChickLitMenemui peramal untuk mempertanyakan jodoh, menjadi pilihan Virgita Anatasya. Ditemani Ghava sahabat seperjuangannya, Virgita mendapat jawaban yang entah harus dipercaya atau tidak setelahnya. Setelah pulang dari sana, kebetelun-kebetulan selalu ter...