8. Virgita: Jaga Jarak

18 3 0
                                    

Kedatangan Mama Pak Je sangat mengagetkan. Untung dia baik dan friendly. Kita melingkar di meja makan dengan segelas jus semangka kesukaan Mama Pak Je—aku belum tahu nama Mamanya.

Setelah Pak Jean membawa Mamanya ke atas, sekarang kami berakhir di sini; meja makan. Rumahnya memang tidak begitu besar. Tipe rumah minimalis yang memiliki dua lantai. Kamar utama ada di lantai dua.

"Mama kira kamu pacarnya, Jean. Ternyata sekretarisnya, penonton kecewa nih."

Aku dan Pak Jean ketawa tanpa suara dan kami tak sengaja mata kami saling bertemu. Setelah sedikit paham karakter Mama Pak Je, aku bisa santai.

"Bukan tante," jawabku. Dia enggak protes lagi aku panggil tante setelah tahu aku hanya sekretarisnya.

"Bentar lagi akhir tahun. Kamu enggak ambil cuti buat liburan sama keluarga? Jangan kaya Jean yang enggak ingat keluarga, dia enggak pernah liburan, pikirannya kerja terus kaya Papanya."

Masa aku harus menjelaskan lagi ke orang-orang kalau aku ini hidup sebatangkara. Untuk kali ini, boleh lah, aku maklumi karena Pak Jean saja enggak tahu semuanya tentang gue, meskipun aku sudah bekerja lama untuknya. "Orangtua saya sudah meninggal semua tante, saya hidup sendirian sudah lama di kos," jelasku.

"Aduh, maaf ya, Gita. Tante enggak maksud ..."

"Enggak pa-pa, tante."

Obrolan kami mengalir sendiri, padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Aku bahkan sampai tahu kalau ternyata Mama Pak Je dan Pak Adnan sudah berpisah lama.

Malam semakin larut. Aku jadi ingat jika harus menyelesaikan kerjaan untuk yang aku tinggal. Aku pamit pulang setelah melihat waktu pukul sepuluh malam.

"Tante, saya izin pulang yah. Sudah malam, besok saya kerja."

"Oh iya, tante lupa kalau besok masih kerja."

"Je, anterin Gita sampai tempatnya yah. Pastikan juga dia sudah masuk ke dalam kamar kosnya. Perempuan rawan dijahati."

"Enggak usah Tan, saya bisa pulang sendiri," tolak tak enakku dengan Pak Jean.

Pasti Pak Jean juga ingin beristirahat. Aku enggak bisa mengganggu waktunya.

"Ayo, Git. Motor kamu kan masih di kantor."

Aku lupa kalau tadi ke sini satu mobil dengan Pak Jean. Aku enggak bisa berkutik lagi.

Selama diperjalanan, aku dan Pak Jean cuma saling bisu. Ini juga terjadi ketika kami dari kantor ke rumah Pak Jean.

"Belok kanan, Pak."

Kami memasuki area perumahan. Di mana rumah yang kutinggali sekarang adalah jalan utama di komplek.

"Di mana?"

"Itu, rumah cat putih yang enggak ada pagarnya."

Seperti sudah hapal dengan lokasi perumahan ini, Pak Jean berhenti tepat di garasi rumah kontrakku. Orang-orang pasti mengira aku mengeluarkan banyak duit untuk menempati rumah ini. Jawabannya enggak!

Rumah yang kutempati masih asli dari delevoper. Belum tersentuh kata renov sama sekali, ini penuturan Ghava karena ini milik salah satu keluarganya.

"Mau mampir sebentar, Pak?" tawarku basa-basi sebelum membuka pintu mobil.

Dia terdiam cukup lama sampai mengepalkan tangannya di setir. "Sebenarnya, rumah kamu satu komplek sama Jess. Saya pengin mampir ke sana, tapi, kamu tahu sendirikan, ada mata-mata diantara kami."

Aku tak bisa berbuat apa-apa jika menyangkut Pak Jean dan Mbak Jess. Aku cuma bisa pamit, "Pak saya turun dulu ya. Terima kasih atas tumpangannya."

Pak Jean kalau nikah lagi dengan orang lain, fiks! Dia cuma mau melanjutkan hidup saja. Percuma saja jika hidup dengan orang semacam Pak Jean, hanya raga yang bisa dimilikinya bukan hatinya.


__________

Banyak sekali hal yang aku dapatkan setelah bertamu di rumah Pak Jean malam tadi.

Poin-poin yang harus aku ingat adalah, pertama; aku harus jaga jarak dengan Pak Temi karena aku enggak mau Pak Jean cemburu seperti kemarin Pak Temi cemburu karena Pak Jean berboncengan denganku. Kedua; rasa sayang Pak Jean ke Mbak Jess sangat besar sampai dia enggak bisa move on. Ketiga; kedua orangtua Pak Jean sudah bercerai. Keempat; mama Pak Jean berbeda jauh dengan Pak Adnan. Kelima; rumah Mbak Jess satu komplek denganku.

Perceraian Pak Jean pasti karena ada sangkut pautnya dengan Pak Adnan.

"Git, Bos lo ada?" Kedatangan Pak Temi mengingatkanku pada poin pertama. Jaga jarak dengan Pak Temi.

"Masuk, lo." Di ambang pintu, Pak Jean mengintrupsi Pak Temi.

Aku sangat bersyukur sekali. Jaga jarak yang didukung oleh alam.

Jas Pak Temi. Aku lupa kalau ada barang yang tertinggal di rumah Pak Jean. Baju basahku juga masih tertinggal di sana.

Tak lama keduanya keluar lagi dan keduanya ke mejaku. "Hari ini ada rapat enggak, Git?" tanya Pak Jean.

"Enggak ada, Pak. Rapat dialihkan besok semua."

Dia mengangguk. Giliran Pak Temi yang mencondongkan tubuhnya ke aku sampai wajahnya sejajar dengan layar komputerku. "Ayo, lo sama Jean ada hubungan apa? Kok jas saya ada di rumah Jean?"

Aku mengadu ke Pak Jean lewat mata. Bapak aja yang jelasin. Bisa-bisanya aku merasa dilabrak istri sah versi gay.

"Kita cuma makan malam, puas lo!" jawaban Pak Jean yang memuaskan sampai aku harus menahan tawa.

Mendengar mereka saling cemburu satu sama lain membuat bulu romaku berdiri. Memang boleh, gay se-blak-blakan ini?

Pak Jean menarik tangan Pak Temi dan mereka pergi meninggalkan kantor ini karena urusan lain. Aku juga enggak mau tahu dengan urusan orang yang sedang kasmaran.

Me
Gay semakin di depan, yang lain ketinggalan. Uhuuyy!

Mbak Desi
Kita tutup rahasia dia, eh malah dia go public. Dasar Gay!

Tawaku pecah. Ini pembahasan seru diantara kita. Aku yakin ini akan menjadi topik hangat sampai satu minggu ke depan di meja kantin.

Ketawa bisa meringankan pekerjaan. Aku yakin Mbak Desi sama halnya denganku yang ketawa-ketawa sendiri dikubikel kerjanya.

Ana
Bos gue GAY. DUAARRRRRR

Aku mengadu ke Nanda teman chat kiriman dari dukun atau peramal via iklan karena sekebtulan itu. Nanda sering dijadikan pelampiasan kesal aku karena kelakuan Pak Jean, sekarang aku bukan membawa kabar seperti biasa alias sambat, aku membawa kabar yang bakal membuat dia ketawa pecah.

Plot twis yang enggak pernah terpikirkan oleh Nanda mestinya. Aku ingin cepat-cepat melihat reaksi Nanda di-chat.

Sayangnya, sampai lima belas menit, aku enggak mendapat jawaban apapun dari Nanda.

Aku harus menelan kepahitan jika masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sekarang. Mengingat besok full rapat.

Ngomong-ngomong soal liburan akhir tahun. Aku ingin mengambil keputusan buruk di akhir tahun. Ya, aku ingin mengajukan resign karena ini bukan pekerjaan yang kuinginkan sejujurnya. Lembur dan setiap hari harus berhadapan dengan orang-orang yang sama. Aku butuh situasi baru. Menunggu lebaran, rasa-rasanya masih lama, aku sudah jenuh.

Aku merenggangkan tubuhku di atas kursi kerjaku. Waktunya istirahat. Besok hari kerja terakhir di minggu ini.

Kantin selalu ramai. Untuk aku dan Mbak Desi kebagian tempat di pojokan. "Asli, ini bakal boom kalau orang sekantor tahu." Mbak Desi masih ketawa dan diikuti olehku.

"Asli, Mbak. Kalau mereka enggak kepergok Mbak, pasti enggak bakal ketahuan." Aku menimpalinya.

Bisa menggosip dengan Mbak Desi di kantor adalah momen yang jarang terjadi.

"Betewe, gue tadi denger ada jas-jas yang di rumah Pak Je."

Dam! Mbak, kuping lo terbuat dari apa sih?

Ayo vote dan komen biar aku semangat.

Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang