13. Virgita: Jalan Bertiga

12 4 0
                                    

Aku dikejutkan dengan ketukan pintu yang sangat brutal di pagi hari. Aku mencari benda pipih yang selalu ada di sampingku untuk melihat jam.

Shiit! Manusia mana yang bertamu di pagi buta seperti ini. Ini hari minggu woy. Kalau Ghava yang ke sini sudah pasti aku cincang biar kujadikan isian pangsit yang sedang viral.

Aku biarkan saja suara pintu yang berisik karena tidur di pagi hari itu surga duniawi di hari minggu. Ini masih pukul 05.15 pagi, kalian harus catat ini.

Sekarang, giliran ponselku yang tak pernah kumatikan data selulernya dan mode silent tidak pernah terjadi diponselku. Aku begini karena takut Ghava tidak bisa menghubungiku.

Giliran ponselku yang menganggu. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk tidak bangun siang setiap hari. Tanpa melihat siapa yang menelepon pagi buta; bagiku.

Raga yang tadinya tidak terisi nyawa sepenuhnya. Langsung nyawaku kembali memposisikan dirinya. "Git, saya dari tadi gedor-gedor pintu kamu kaya rampok. Dibel juga enggak denger. Kamu masih hidup kan?"

Karena aku tahu pemilik suara itu. Aku langsung berlari ke depan untuk memastikan. "Buka pintunya." Kami bertemu di kaca jendela sebagai pembatas. Pak Jean kembali mengisyaratkan agar aku membuka pintu rumah.

"Saya udah ambilin motor kamu dari kantor." Kunci motor yang tadinya sedang bergelantung di depanku, langsungku serobot paksa. Aku meninggalkan kunci motor ke pak Rahmat karena aku sudah sepercaya itu dengannya.

"Makasih," kesalku.

"Jangan sewot-sewot. Kamu enggak lihat ada tamu agung." Belum kupersilahkan duduk, Pak Jean sudah duduk rapih saja di kursi ruang tamu.

"Belum ada air panas buat kopi di sini. Lagian di sini juga enggak ada kopi."

"Saya cuma mau minta sarapan."

"Enggak ada! Saya enggak masak."

"Sarapan di luar. Saya hitung sampai tiga, dua, harus  mandi segera."

"Bodoamat! Ini rumah saya, bukan di kantor. Jadi Bapak harus mengikuti peraturan di sini." Aku masih berdiri santai.

"Oke." Pak Jean duduk tegap dengan kaos polonya. "Apa peraturannya?"

Sejenak aku berpikir, apa peraturannya? Aku enggak pernah membuat peraturan untuk tamu yang datang. "Jangan angkat bokong Bapak dari kursi sebelum saya selesai mandi." Peraturan spontan yang keluar dari mulutku.

Aku meninggalkan dia. Sejujurnya mandi pagi itu aktivitas termalas di hari minggu begini. Tanpa menunggu waktu lama, aku mandi, memakai skincare, dan berdandan tipis-tipis saja.

Jangan tanya berapa waktu yang aku butuhkan untuk semuanya. Hampir satu jam pastinya, itu pun aku sudah merasa diburu-buru. Aku siap diomelin olehnya.

"Maaf ya Pak, lama nunggunya." Aku buru-buru tanpa melihat sekitar.

"Sejak kapan kamu bawa tamu cowok ke rumah?" Aku dikejutkan dengan kehadiran Ghava di sofa yang menghadap Pak Jean yang sedang tertidur di kursi panjang ruang tamu.

"Ghav," ucapku tergagap. Aku seperti tertangkap basah membawa selingkuhan di rumah. Pasalnya, aku tidak pernah membawa lelaki mana pun masuk ke rumah, kecuali Ghava yang sudah sejak kecil bersamaku. "Aku bisa jelasin."

"Bos kamu yang bawa motor kamu balik?"

Aku duduk di samping Ghava. Sumpah, ini persis seperti aku ketahuan selingkuh oleh pacar sendiri. Padahal mereka bukan siapa-siapa aku, mereka hanya sahabat dan bos.

"Dia ngide sendiri. Kamu kan tahu, kalau dia ada gila-gilanya. Suka bertindak apapun sendiri."

"Kamu lagi pedekate-an sama dia?"

Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang