7. Jean: Mama sayang

21 2 0
                                    

Menu pilihan Jess sangat tepat. Permintaan maafku terpenuhi meskipun dengan gaya pengecut—aku enggak mengucapkan kata maaf secara langsung. Aku melihat dirinya sumringah menjadikan patokan sebagai kalau Gita sudah memaafkan aku.

Gita kali ini bikin aku bergidik setelah mendengar pengakuan, sekretarisku. Kalau saja Temi tahu jika Gita juga menyukainya pasti Temi takkan membiarkan kesempatan emas ini hilang begitu saja; menjadikan istri kedua.

"Jas siapa?" tanyaku ketika dia menyantelkan jas yang telah diberi hanger di servis room.

"Eh!" Dia terperanjat akan kedatanganku yang tiba-tiba.

"Ini punya Pak Temi."

Aku ingin mengumpat penuh karena hubungan terlarang di kantorku akan dimulai. Kalau gini, Winner Group bakal tercoreng namanya jika membiarkan hal itu terjadi. Apalagi istri Temi, pasti akan melabrakku dengan membabi buta.

"Jangan terlalu dekat sama dia. Kamu tahu kan kalau dia sudah beristri."

Dia mengangguk penuh pengertian. "Tapi ini tadi saya keburu kedinginan, jadi saya terima."

"Lain kali bakal saya tolak kok, Pak. Maaf ya," imbuhnya.

Aku pergi untuk mengajak makan malam sebagai bentuk permintaan maafku karena sudah ku ajak hujan-hujanan. "Ayo, saya sudah masak buat makan malam."

"Terus saya kapan pulang, Pak?"

"Lembur di rumah saya dulu, nanti saya antar kamu pulang ke rumah orangtua kamu, sekaligus minta maaf sama orangtua kamu, karena udah bawa kamu pulang larut malam."

"Sekarang kita makan."

Aku masak sop daging resep dari Jess. Sebenarnya ini sop daging pada umumnya, tapi karena yang pertama kali mengajarkan masakan ini Jess, jadi aku mengklaim kalau ini resep miliknya. Dan, cuma ini masakan yang aku bisa, yang lainnya selalu gagal setiap kali diajarkan Jess.

"Makasih ya, Pak."

Sekarang kami di meja makan rumahku. Aku sengaja membawa dia ke sini karena aku tidak tahu harus kemana lagi. Setelah pertengkaran hebat dengan Papa aku masih berpikir sehat tentang kondisi Gita. Aku takut Gita sakit karena aku yang tadi mengejar waktu.

Panggilan dari orang kepercayaan Papa membuatu kesetenan di jalan tanpa peduli hujan. Aku tahu pasti ada orang suruhan Papa yang memata-mataiku dan Jess. Aku tahu Jess salah, tetapi sebagai orang yang tinggal dengan Jess aku tahu alasan dia bodoh di masalalunya.

"Bapak yang masak?" tanyanya setelah mengunyah potongan daging.

"Iya, kenapa?"

"Masa?" katanya tak percaya.

"Enggak enak yah?"

"Enak kok, makanya tadi saya kurang yakin kalau ini masakan Bapak." Gigi rapihnya sampai terlihat karena cengirannya.

"Ini resep dari Jess, dan cuma ini yang bisa saya masak."

Uhuk!

"Minum dulu, Git."

Dia minum air yang ada di depannya. Memang sop daging bukan menu yang tepat di malam hari. Namun, hanya ini yang aku bisa.

Sisa-sisa cipratan air yang ada di meja dan mulutnya dia bersihkan.

"Ini juga pasti baju Mbak Jess ya, Pak?" tanya Gita.

"Iya."

Beberapa baju Jess memang masih ada di rumahku. Dia bilang simpan saja barangkali dia menginap sini lagi; rasanya itu mustahil.

"Kamu cocok kok pakai itu. Cantik," pujiku jujur.

Dia tersenyum simpul berkat pujianku.

Setelah selesai makan, dia mencuci piring. Sumpah, jangan berpikir aku ini patriaki, dia yang meminta sendiri. Aku juga yang membersihkan meja makan karena di sini Gita datang sebagai tamu bukan sekretarisku.

"Je, nomor Mama kamu blok ya. Kok enggak bisa dihubungi."

Hampir saja aku jantungan karena kedatangan Mama yang tiba-tiba. "Mama masuk saja tadi karena pintu rumah enggak kamu kunci."

"Kamu teledor banget." Begitulah Mama yang selalu cerewet kalau aku mulai tak bisa dihubungi. Apalagi aku ketahuan enggak mengunci rumah padahal pemiliknya ada di dalam rumah.

"Mah, Je lagi enggak pegang hp, jadi enggak denger. Bukan berarti Je blok nomor Mama."

"Loh, dia siapa? Kamu pacar anak saya?" Rupanya Mama tak mendengar jawabanku. Dia malah beralih ke Gita yang sudah berbalik badan menyapa Mama. Pasti dia juga terkejut akan kedatangan Mama.

"Mah," cegahku supaya mendengar penjelasanku terlebih dahulu.

"Kamu enggak ngenalin cewek secantik ini ke Mama. Kamu kan tahu, kalau Mama bukan Papa yang pilah-pilih. Kamu takut Mama enggak setuju sama hubungan kalian? Mama juga enggak bakal nolak kalau menantu Mama secantik ini."

Mama itu kalau sudah ngomong enggak bisa dihentikan. Trabas terus sampai aku enggak dikasih kesempatan untuk menjelaskan.

"Nama kamu siapa, cantik?" Mama menjabat ke arah Gita.

"Gita, Tante." Dia terlihat grogi. Memang ini pertama kalinya Gita melihat Mama. Kalau Papa, dia dulu sering ke kantor. Mama enggak pernah menginjakkan kaki ke kantor setelah perceraiannya. Dulu pernah sesekali ke kantor, itu pun bisa dihitung jari pertahunnya. Kayanya, zaman itu aku masih kuliah di luar juga aku belum bekerja di sana.

Perceraian Mama dan Papa terjadi setelah aku wisuda. Pas banget sedang perjalanan balik dari Amerika, mereka membongkar semua keputusan buruk mereka saat aku tiba di Indonesia.

Katanya, Mama susah diatur oleh Papa. Dan, Papa yang sibuk kerja sampai enggak pernah meluangkan waktu buat keluarga. Iya, memang dari dulu Papa dan Mama sering ribut, makanya aku memutuskan jauh dari mereka.

"Mama aja, jangan panggil tante."

Gita hanya tersenyum. Posisi dia pasti tidak enak. "Mama boleh pinjem Je sebentar ya." Gita mengangguk.

Biar saja, aku bakal menjelaskan semua ini.

"Kamu katanya habis dimarahin Papa gara-gara Jess?!"

Suara Mama masih terdengar Gita. Dia saja sampai kaget mendengar cerocosan Mama. Aku membawa Mama ke balkon lantai dua yang suaranya enggak bakal tembus ke dapur.

Aku enggak mau masalah keluarga sampai terdengar oleh orang lain.

"Mah, sekarang giliran Je yang ngomong. Mama diam dulu," kataku.

Mama kalau enggak diberi jeda ngomong, dia pasti akan ngomong terus sebelum puas.

"Mah, Gita bukan pacar Je," ucapku yang hampir saja dipotong oleh Mama. "nanti dulu, beri kesempatan Je untuk meluruskan ini."

Aku takut kalau mama koar-koar di luar sana anaknya sudah punya pacar. Dan nanti aku malah kerepotan sendiri karena bakal disuruh mengenalkannya ke keluarga besar Mama. Pasalnya, dikeluarga Mama aku adalah cucu pertama dan aku juga cucu laki-laki satu-satunya. Sepupu-sepuku yang di bawahku saja sudah banyak yang nikah, aku dilangkahi oleh mereka.

"Gita sekretaris Je, bukan siapa-siapa Je," jelasku.

Sayangnya, penjelasanku justru membuat raut wajah Mama berubah kecewa.

"Je, Mama enggak pernah mempermasalahkan kamu sama siapa saja. Yang penting kamu bahagia sama pasangan kamu, cuma itu kemauan Mama saat ini. Ingat, Mama bukan Papa yang banyak kriteria cari menantu. Kebahagiaan anak Mama adalah kebahagiaan Mama."

"Mama enggak mau semuanya terulang lagi."

Aku menunduk. Cuma Mama yang bisa aku dengarkan dari dulu. Semua omelan Papa untukku tak pernah aku dengar. Mama susah diatur karena Papa juga seenaknya sendiri menjalani hidup, enggak pernah dengerin perkataan Mama.

Di balik kecerewetannya, Mama adalah ibu peri yang hebat. Bahkan sekarang Mama sudah membuat usaha sendiri berkat kerja kerasnya sendiri tanpa bantuan Papa. Mama sudah bisa berdiri sendiri tanpa dapat sokongan apapun dari Papa.

Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang