15. Virgita: Resign

13 2 0
                                    

Mbak Yuni masih bertanya alasan resign-ku. Aku memang belum punya rencana akan pergi ke mana setelah cabut dari kantor ini. Namun, ada Ghava yang bisa menikmati kerjanya dengan santai. Kayanya aku bakal gabung dengannya yang bekerja di EO temannya.

"Udah bilang Pak Jean, emangnya?"

"Kan aku udah bilang ini misi rahasia, Mbak. Mbak Desi saja enggak tahu kalau aku mau resign."

Mumpung masih belum memasuki akhir tahun, aku mengajukan resign lebih awal supaya ada penggantiku dan aku bisa mengajarinya secara langsung. Aku enggak mau orang lain bernasib buruk di sini gara-gara perilaku Pak Jean yang bikin darah tinggi.

"Semoga dapat kerjaan yang lebih baik ya, Git." Akhirnya Mbak Yuni, selaku HRD menerimanya.

"Aku balik ke mejaku ya, Mbak."

Surat resign ada di tanganku. Aku bisa menunggu Pak Jean yang sedang keluar dari pagi. Dia bilang akan terlambat datang ke kantor. Aku bakal menyerahkannya hari ini setelah dia datang ke kantor.

Setelah dari ruangan Mbak Yuni, aku ke pantry untuk menyeduh coklat panas untuk menaikkan mood-ku. Sembari menunggu air panas mengucur ke gelas, aku membuka ponsel dan teringat dengan Nanda. Cuma Nanda yang tahu misi rahasiaku ini.

Ana
Hari ini gue sudah ngajuin resign.

Bentar lagi gue enggak bakal ketemu bos gay lagi. Wkwkwk.

"Penuh tuh, Git," peringat Mbak Desi.

Aku melihat gelas putih yang ternyata memang hampir penuh airnya. "Santai ya, Mba?" sindirku.

"Kapan lagi iya enggak?" Mbak Desi menyeduh kopi instan yang tersedia di kantor. Sedangkan, Pak Jean ada kopi tersendiri, kopi pilihan asli Indonesia. "Chatt-an sama siapa lo, senyum-senyum gitu?"

"Temen gue, Mbak," bohongku.

"Pak Je, keluarnya sama Pak Temi nggak?"

"Kayanya sih enggak. Kan biar enggak tercium."

"Bener sih. Tapi, betewe, beliau kemana, tumben masuk telat."

Aku mencari biskuit sisaan Pak Jean. Biasanya, Pak Jean memang menyediakan makanan itu untuk sarapan jika tak sempat sarapan di rumah. Jadi aku bisa mengambil sisaannya karena takut basi. "Kurang tahu, dia cuma bilang masuk telat doang."

Panggilan masuk di ponselku. Dari Bunda ternyata, aku pergi dari pantry sebelum mengangkat panggilan itu, begitu juga dengan Mbak Desi.

"Kok kamu enggak bilang kalau teman kamu ke sini?" Setelah aku mengangkat panggilan dari bunda dan menjawab salamnya.

"Siapa, Bun?" tanyaku penasaran.

"Itu loh, yang kemarin. Dia kesini bawa banyak makanan dan ..."

"Maksud bunda, Pak Jean?" potongku. "Dan apa, Bun?"

"Sebenarnya bunda enggak boleh cerita sih ke kamu soal ini."

"Ya sudah, nanti pulang kerja Gita ke sana. Udah dulu ya, Bun. Bos Gita datang."

Aku mematikan ponsel saat melihat Pak Jean sudah masuk ke dalam ruangannya. Aku menyusulnya untuk menawarkan minuman. "Masih perlu kopi, Pak?" tanyaku setelah dihadapannya.

"Iya, saya tadi belum sempat sarapan juga."

Aku melihat jam di tanganku yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sudah jam segini dia belum sarapan. "Mau sekalian beli makanan?" tawarku.

"Enggak usah, makannya nanti saja sekalian makan siang."

Ini bukan pertama kalinya dia begini, dua sudah cukup dengan cemilan dan segelas kopi. "Git, sekalian panggilin Pak Wisnu yah, suruh dia ke sini sekarang." Pak Wisnu adalah ketua divisi keuangan.

"Baik, Pak."

Anak baru harus tahu racikan kopi tubruk Pak Jean. Kopi asli setengah sendok, kadar gula disesuaikan yang penting rasa kopinya tak hilang. Airnya wajib air mendidih. Soal makanan, biasanya pakai beberapa biji cookies atau biskuit, seadanya di pantry, ditambah potongan buah; biasanya riquest. Karena sekarang dia tidak memintanya, aku hanya menyediakan cookies kesukaan Pak Jean.

Perihal Pak Jean datang ke panti, aku ingin membahasnya.

"Kopinya masih panas, Pak," ingatku.

"Biasanya kan begitu," sahutnya.

"Bentar, Pak." Aku izin keluar untuk mengambil surat pengunduran diri yang aku umpetin di belakang tubuhku.

Aku sudah seyakin itu.

"Bapak terlambat karena habis ke panti ya, Pak?" tanyaku.

"Bunda kasih tahu kamu?" Aku mengangguk.

"Ngapain? Kasih dana ke mereka ya. Makasih banget ya, Pak. Bunda pasti seneng banget."

"Cuma sedikit, Gita."

"Tapi, saya enggak mau merepotkan Bapak. Bunda sudah cukup banyak donatur." Separuh gajiku aku sumbangkan ke sana, memang tidak seberapa, tetapi masih banyak donatur yang menyumbang di sana.

"Maksud kamu?"

"Bapak jangan ke sana lagi."

"Kenapa? Apa salahnya?"

Ya, aku enggak mau dia di sana karena takut kalau Pak Adnan tahu. Pak Adnan memang baik, tapi aku takut dengannya setelah kejadian waktu itu. Aku takut Pak Jean akan dimarahi karena ini. Aku pasti akan terseret, aku takut kalau dia mempermainkan uang perusahaan.

"Saya mau resign, dan saya tidak mau berurusan dengan Bapak dalam segi apapun." Aku menyerahkan surat keramat itu.

"Saya akan mencoba mencari pengganti Bapak secepatnya, dan saya yang akan membimbingnya langsung."

Entah keberanian dari mana, aku bisa mengucapkan kalimat-kalimat ini.

"Silahkan keluar, dan bilang ke Yuni untuk mencari pengganti kamu."

Apa mungkin mood Pak Jean lagi sangat baik. Atau dia sudah tahu sebelumnya dari Mbak Yuni?

Sejujurnya, agak gimana kalau kaya gini. Disisi lain aku ingin resign dan mencari hal baru di dunia ini. Namun, aku juga sudah ingin menikmati hidup di usianya yang sekarang melihat teman masa sekolahnya sudah pada menimang anak.

Aku menghubungi Mbak Yuni melalui telepon kantor.

Selama aku bekerja, aku mencoba santai karena enggak akan lama lagi aku akan meninggalkan tempat ini.

Banyak sekali pelajaran dan kenangan hidup yang ada di sini. Setelah bekerja di kantor yang kecil, sekarang aku bisa merasakan bekerja di kantor besar yang ada di Indonesia. Apalagi di posisi ini, aku sangat bersyukur. Namun, aku harus melepas semua ini setelah hampir dua tahun aku bekerja di sini.

Aku kebelet. Sebentar lagi jam makan siang, aku segera ke toilet agar nanti langsung bisa ke kantin kantor bareng Mbak Desi.

Apa yang diperbuat di dalam kamar mandi lama-lama? Tujuanku hanya buang air kecil.

Aku menyambar ponselku yang tadi kutinggal. Ada pesan dari Nanda. Akhir-akhir ini dia sangat slow respon. Aku langsung membalasnya.

Nanda
Kalo bos lo gay, setan yang dikirim dukun buat nyantet kayanya kabur duluan deh, An.

Lo beneran? Beneran hari ini?

Ana
Lagian, hidup aneh-aneh aja. Lobang lebih enak malah milih pedang pora.

Beneran. Bos gue udah acc. Gue seneng banget. Aslinya gue pengin loncat-loncat kegirangan, tapi malu <^_^>

Nanda
Kenapa enggak loncat aja, biar bos lo tahu kalo lo lg seneng.

Ana
Malu lah.

Nanda
Btw, An. Kalo ternyata lo salah paham sama bos lo doang kalo dia gay, gimana?

Ana
Gue yakin 10000 persen kalo dia menyimpang. Gue udah membuktikan sama temen kantor gue.

Nanda
Yakin dia, gay?

Ana
Yakinlah!

Aku mengecek panggilan tak terjawab setelah asyik berkirim pesan dengan Nanda. Ternyata panggilan tersebut dari Nanda dan Pak Jean. Kenapa mereka meneleponku secara bersamaan?





Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang