19. Virgita: Mati-matian

9 2 0
                                    

Ana : Gue enggak sengaja mendengar percakapan bos gay gue di kantor. Dia lari-larian sama pacar gay-nya di dalam ruangan. Karena kuping gue panas, gue tutup pintu dia sengaja kenceng biar dia sadar ada manusia NORMAL yang dengar.

Ana : Bos gay gue jadi baik.

Meski tanpa balasan darinya, aku bisa merasakan bara api yang menggebu-gebu dari Nanda. Dia pasti senang sekali mendengar berita ini. Dia enggak perlu ikut nyantet, mendengar bos aku belok saja dia sudah senang karena itu juga perwujudan dari karma katanya.

"Git, kita harus makan siang bareng. Gue kangen gosip sama Mbak Des juga." Ryan merapihkan berkas-berkas di atas meja.

"Iya nih, gue juga." Aku mengiyakan. Sudah lama kita enggak nongkrong bertiga di kantin kantor.

"Lo kelihatan makin dekat aja sama Pak Jean," bisik Ryan di sampingku.

Orang-orang yang rapat sebagian sudah bubar. Ryan masih berdiri dan merapihkan kertas-kertas miliknya. Pak Jean masih duduk di depanku dan sedang fokus di ponselnya.

"Git, masih lama?" Teguran Pak Jean buat Ryan berhenti isengin aku.

"Bentar lagi, Pak."

Sebelum keluar ruangan, Ryan sekali memperingatiku untuk makan siang bareng di kantin.

*****

"Mbak, gue lupa cerita sama lo," kataku. Sejak menggosip per-gay-an aku dan Mbak Desi baru punya waktu luang untuk bergosip dengan tenang.

Ryan belum sampai di kantin, katanya sebentar lagi bakal gabung. Berhubung lelaki itu belum ke sini, aku mau membahas per-homo-an di kantor.

"Soal apa?"

"Pak Je sama Pak Temi." Aku menceritakan gimana mesranya mereka berdua pas kejar-kejaran di ruangan Pak Jean.

"Anak-anak juga denger. Tapi mereka pura-pura tuli dan takut bahas di kantor. Untung lo langsung tutup pintu." Wajah Mbak Desi langsung lega.

"Kan, Mbak. Kalo sampai ke telinga Pak Jean sama Pak Temi, bukan salah kami kan? Mereka aja yang terlalu go public."

"Benar, ini bisa jadi pembelaan buat kita."

"Lagian, kalau gue dipecat juga enggak masalah, toh gue bentar lagi juga keluar dari sini."

"Maksud lo, Git?"

Alamak, aku keceplosan gini. Namun, bagaimana pun dia juga harus tahu kalau aku sudah enggak lama lagi di sini. Mau tak mau, aku harus mengucapkan selamat tinggal buat mereka.

"Mbak, gue mau resign," ucapku hati-hati.

"Serius?!" Mbak Desi rada terpekik sampai beberapa orang memperhatikan kami.

"Terus patner gosip dark gue siapa dong, Git. Cuma lo doang yang nggak ember di lantai atas." Berhubung kami memang di kantor teratas, jadi kami menyebutnya lantai atas.

"Gosip per-homo-an enggak ada dong, Git. Kan yang tahu cuma lo."

"Siapa yang homo, Mbak Des?" celetukan seorang lelaki membuat kami menoleh ke belakang.

"Siapa yang homo, Mbak, Git?" tanya Ryan memastikan sekali lagi.

Kami gelagapan. Pasalnya Ryan ini juga lelaki bermulut ember. Kalau kami kasih bocoran bakal kebobolan langsung.

"Ada lah, anak kantor. Lo pesen apa, Yan." Mbak Desi mengalihkan topik pembicaraan.

"Ketoprak sama es teh," jawabnya singkat. "Siapa deh Mbak yang homo di sini. Perasaan mereka normal-normal aja. Di lantai kalian?" picingnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang