3. Virgita: Terjebak Hujan

24 3 0
                                    

Motor masuk bengkel dan cuma Ghava yang bisa menolong. Saking sibuknya, aku enggak pernah kepikiran untuk servis motor setiap kali jatuh tempo. Siapa yang bakal ingat jika berada diposisiku. Pikiran aku cuma untuk Winner Group yang katanya bakal berinovasi lagi membuat brand dengan varian korean.

Gimana aku bisa hidup tenang kalau harus ngurusin rapat mulu. Belum lagi harus harus potong gaji karena hal sepele. Kayanya aku harus cari pekerjaan sampingan atau pindah kantor di tempat yang tak pernah mengotak-atik gaji seenak jidat. Nama doang Dermawan, kelakuannya pelit dan kikir.

"Aku di bengkel dekat kantor. Kamu udah pulang kerja memangnya."

Kalau aku dan Ghava terndengar kaku menggunakan aku-kamu-an maaf. Tapi kita sudah senyaman itu menggunakan kata tersebut. Bayangkan dari kecil, ibu yang ngajarin buat sopan ke semua orang. Sampai dewasa pun, aku dan Ghava masih sama. Kami tidak mau meromantisasikan aku-kamu karena dalam KBBI kata aku dan kamu itu sebagai subjek, bukan penggambaran romantis.

"Aku jemput, tapi bentar lagi. Aku lagi di lapangan, nunggu teman bentar."

"Gepeel yah, mendung nih."

Memasuki musim pancaroba, aku belum sadar juga untuk menaruh jas hujan ke dalam jok motor. Ini masih musim peralihan yang belum bisa dipredisksi kapan hujan akan turun secara pasti. Bagi aku yang enggak percaya dengan prediksi cuaca di ponsel—tapi ke peramal jodoh, aku cuma bisa pasrah jika cuaca sewaktu-waktu berubah seperti sekarang. Dari siang cuaca adem ayem alias cerah sekarang mendadak sangat mendung.

Kata montirnya sih, motor gue bakal lama servis karena termasuk servis berat. Tadi saja motor tiba-tiba mati di jalan, untung saja dekat bengkel dan  masih ada Ghava yang bisa diandalkan.

Lah kok ada mobil berhenti?

"Mas, motor scoopy merahnya udah jadi?"

Itu Pak Jean yang datang ke bengkel juga yang belum sadar akan kehadiranku.

"Sudah, Pak. Bentar saya cek administrasi dulu."

"Okey."

Dan jreng!

"Sore, Pak," sapaku saat dia melihat keberadaanku.

"Kamu di sini juga? Ngapain, ngikutin saya yah?"

Konsep ngikutin itu kalau Pak Jean datang lebih cepat dan aku datang setelahnya. Mana ada penguntit datang ke tempat lebih awal.

"Motor saya tiba-tiba mati di jalan, Pak," ucapku masih memiliki stok kesabaran meskipun sedang ditimpa kesialan hari ini.

Kayanya Pak Jean itu enggak pernah butuh jawaban dari aku deh. Dia itu selalu basa-basi biar terlihat peduli di depan orang lain. Yang penting dia sudah dapat intinya dan peduli amat soal penjelasan lainnya. Begitulah bos maha nyebelin, makanya ditinggal istrinya.

Langit semakin mendung. Manusia sudah tidak bisa lagi berharap akan ada secercah cahaya sore demi tak basah kuyup pulang kerja. Aku juga berharap begitu. Motor bisa ditinggal dan Ghava bisa bawa aku pulang sebelum hujan turun.

"Nurut sama aku sekali ini aja, jangan pakai motor. Kasihan Jordan, kalau kamu masih susah diajak kompromi, Jordan aku ambil." Ancaman Pak Jean terdengar menakutkan.

Aku bisa mendengar percakapan Pak Jean dan yang diduga mantan istrinya yang waktu itu aku temui di rumah sakit bareng Pak Jean di pagi buta.

Entah deh, keduanya sih terlihat masih saling sayang, tapi mungkin itu semua karena demi anak—belum sama-sama move on Pak Jean masih kasih jatah kiss panjang di dahi perempuan itu cukup lama sewaktu di rumah sakit.

Prediksi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang