Aku pikir, Gita tidak akan mengajukan surat pengunduran diri secepat ini. Baru saja kemarin aku bisa dekat dengan sekretrisku; kehidupannya. Sekarang harus kehilangan dia. Obrolannya yang tak sengaja kudengar beberapa waktu lalu, ternyata tak pernah ditarik lagi.
"Saya kangen makan di sini sama Jess," kataku untuk membuka obrolan makan siang ini di luar. Dengan persetujuan Gita, aku mengajaknya ke sini. Dia sih bilang enggak ada janjian sama Desi atau Ryan untuk makan siang.
"Kamu suka kan sotonya? Di sini dagingnya nggak pelit, kuahnya juga seger," imbuhku.
Dia mengangguk. Sudah hampir lima bulanan aku tidak makan di sini. Kuah soto dan dagingnya yang berlimpah bikin ketagihan. Es jeruknya juga enak, meskipun seperti es jeruk pada umumnya.
"Kamu beneran mau resign?" tanyaku.
"Emangnya saya terlihat ragu ya, Pak?" Dia menyeruput kuah sotonya yang dipenuhi sambal. Aku baru tahu kalau dia jago sekali makan pedas.
"Enggak ada sih," kataku.
"Akhir tahun pasti kita bakal sering lembur."
"Kan saya out dari kantor baru januari Pak. Masih lama itu, ini juga baru awal desember, awal banget malah."
"Kamu punya wish list sebelum keluar dari kantor nggak?" tanyaku.
Air mukanya sedikit tegang. "Tenang, ini enggak berpengaruh ke gaji kok."
"Ada wish list?" tekanku sekali lagi.
"Cuma mau menghirup udara malam di rooftop kantor sih, Pak."
"Sepertinya seru." Aku ikut membayangkannya.
Disaat kepala sedang puyeng-puyengnya, tubuh ditiup angin sejuk. Pikiran plong dan rasanya sebagian beban hidup akan ikut terbawa angin.
Aku ingin segera ke rooftop malam ini.
*****
Bukan di rooftop yang kami injak malam ini. Melainkan, rumah sakit. Gita mendadak ada panggilan masuk saat kami sudah selesai bekerja. Anak-anak keuangan juga sudah pada balik, yang tersisa cuma kami karena aku mengajak Gita ke sana.
Bunda panti yang dulu Gita tinggal di sana katanya mendadak pingsan. Gita sangat khawatir, pun aku karena aku beberapa hari baru ke sana untuk memberi dana sumbangan dari tabungan pribadiku. Setelah meninjau di sana, sepertinya aku akan merekomendasikan panti tersebut akan dimasukkan daftar donasi kantor kami. Memang Winner Group sering blusukan, selain untuk donasi juga untuk mempromosikan produk kami.
"Bunda ada masalah kan? Bun, Gita kan udah bilang, kalau ada apa-apa, bunda bisa cerita ke Gita."
Apakah Bunda tidak bercerita kalau banyak donatur yang sudah mulai memutus hubungan dan kondisi usaha bunda sepi.
"Bunda kayanya cuma kelelahan doang, Git." Meski Gita bukan anaknya, obrolan mereka seakan seperti ibu dan anak yang sangat dekat dan punya ikatan yang kuat.
Selang infus di tangan Bunda terus berjalan.
"Bun, Gita sedih kalau lihat bunda sakit gini."
Pintu ruangan terbuka. Ada Kiki yang masuk, perempuan berkerudung itu yang selalu menemani bunda. Waktu itu juga aku sempat bertenu dengannya.
"Kamu pulang aja ya, Git. Kiki sudah datang, biar dia yang jaga bunda."
"Besok kamu kerja. Bunda enggak mau kamu malah ikutan sakit."
****
"Saya mau ngomong sebentar tentang kondisi bunda," cegahku saat Gita sudah menyalakan mesin motornya.
"Apa?" Gita mematikan mesin motornya.
"Tapi tidak di sini," ucapku.
Kami sudah berada di tempat parkir rumah sakit. Gita memang batu sampai kami harus terpisah saat menuju perjalanan dari kantor ke rumah sakit. Walhasil, karena aku enggak bawa helm; padahal bisa ngambil helm karyawan, tapi karena terburu-buru, aku mengikutinya menggunakan mobil.
"Di mana? Apa di rumah saya saja, Pak. Saya udah pegel-pegel."
Memang sudah pukul sebelas malam. Aku juga lihat Gita sudah sangat lelah.
"Okey."
Untuk kedua kalinya aku mengikutinya dari belakang menggunakan mobil. Apakah aku harus menyiapakan helm juga di mobil biar siap kalau tiba-tiba saya bonceng Gita.
Kalaupun aku ajak dia naik mobil, pasti dia akan menolak habis-habisan. Meskipun, kutahu dia sangat kelelahan.
Mungkin, ini efek dia terlalu mandiri sejak lama.
Tanpa adanya macet karena ini memang sudah malam, kami tiba di rumah Gita yang sudah tidak asing lagi bagiku karena ini masih satu kawasan dengan rumah Jess.
"Masuk dulu, saya mau ambil air."
"Air putih aja, Git," pintaku.
"Saya juga enggak ada air, selain air putih."
Aku menelan ludah, terskak. Gita kalau lagi mode cape memang nyeremin.
Tak butuh waktu lama, dia kembali dengan dua gelas air putih dan teko barangkali mau nambah.
"Apa yang bapak tahu tentang Bunda?" Dia duduk siap mendengarkan.
"Saya minum dulu ya," pintaku.
"Apa yang bapak tahu soal Bunda?" tanyanya sekali lagi. Padahal aku baru saja menelan airnya, untung tidak tersedak.
"Kemarin saya ke panti dan kondisinya sedang tidak baik-baik saja," jelasku.
"Maksud Bapak?"
"Emang kamu enggak tahu kalau kondisi keuangan panti sedang goyah?" Apa bunda panti tidak memberi tahu tentang ini ke Gita. Melihat reaksinya meyakinkan gue bahwa Bunda panti tidak bercerita hal buruk ini ke Gita.
Dia menggeleng lemah. Karena sudah terlanjur, aku akan membuka semuanya.
"Banyak donatur yang sudah mundur. Usaha bunda juga sepi."
Gita memijat kepalanya dan mendesah kasar. "Kenapa bunda enggak cerita," ujarnya.
"Mungkin dia enggak mau bikin kamu kepikiran juga."
"Saya dengar, kamu juga selalu nyisihin separuh gaji kamu untuk panti?" Sial! Dengan begini aku jadi merasa bersalah karena selalu mengotak-atik gaji dia semena-mena.
Tak jarang aku memotong gajinya.
Aku mulai mendengar sesegukan darinya. "Bunda kenapa enggak cerita ke aku sih." Masih dengan sesegukan. Bahunya terguncang dan kini suara tangisnya mulai terdengar.
Dengan lancangnya, aku mendekat ke arahnya dan untuk mencoba meredamkan tangisnya meski kemejaku basah tentunya. Aku sedang menggunakan kemeja biru.
Dia ambruk di pelukanku. Bukan, aku enggak meluk dia atau sebaliknya. Gita cuma butuh wadah air mata. Melihat tidak ada penolakan darinya aku membelai punggungnya supaya lebih tenang. Aku enggak modus, meskipun sudah lama tidak bersentuhan secara intim dengan wanita.
Tangisnya terdengar sangat dalam.
"Saya siap kok jadi donatur panti bunda," hiburku.
Sudah lama sekali aku enggak berhubungan dengan wanita.
Mendengar tangisnya yang cukup dalam. Aku seperti merasakan hal yang sama dengannya. Tangisnya sangat menyentuh hingga tubuh Gita sedikit bergetar dalam pelukku.
Ini enggak ambil kesempatan dalam kesempitan yah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prediksi Cinta
ChickLitMenemui peramal untuk mempertanyakan jodoh, menjadi pilihan Virgita Anatasya. Ditemani Ghava sahabat seperjuangannya, Virgita mendapat jawaban yang entah harus dipercaya atau tidak setelahnya. Setelah pulang dari sana, kebetelun-kebetulan selalu ter...