Ep. 15

8.5K 1K 12
                                    







"Jeno"

Raga itu, dahinya setinggi hidungku dahi yang kukecup setiap pagi. Tubuh mungilnya yang ku rangkul setiap malam, wajah berserinya yang kini tampak pucat pasi, bibir yang kulumat disela dekapan kini tampak kering serta netra yang kupuja setiap hari kini kembali. Jaeminku kembali.

Tubuh kokoh yang sempat membeku itu kini memberanikan langkahnya meraih buah hatinya dengan paksa. Minho sedikit tersentak.

"Kembalikan anakku"

Pintu 444 itu kembali tertutup dengan sendirinya. Merasa tidak suka dengan tindakan papanya, Minho menangis. Anak itu memberontak histeris mengadahkan kedua tangannya, memutar badannya melihat kearah sosok manis yang merangkulnya seharian ini.

"Unaa..."

Dada Jeno berdenyut mendengar kalimat baru yang Minho ucapkan. Pikirannya terlalu ramai dan berisik.

"Diam Minho!"

"Papa marah jika kau menangis"

Jeno menurunkan anak itu kelantai ruang tengah, ditengah beberapa mainannya yang tergelak disana, termasuk sapi karet favoritnya. Anak itu mengabaikannya memilih berlari dengan kedua lutut dan tangannya kearah pintu apartement. Memanjatnya hingga tubuhnya berdiri dengan bertumpu pada pintu.

"Unaa...nahhh" Minho menoleh ke arah papanya dan menunjuk dengan jari mungilnya. Seperti mengatakan aku ingin keluar.

"Tidak Minho, Bunamu sudah meninggal. Dia bukan Buna" Jeno yang tidak kuat akhirnya mendudukkan dirinya bersandar di sisi tembok dekat pintu.

Tubuhnya lemas melihat sosok yang familiar didepan gapura pemakaman, mengapa sosok itu berlari menghindar saat bertatap mata dengannya namun ketika dia kembali kesana petugas makam mengatakan tidak ada yang berkunjung sejak pagi. Dirinya bahkan terlalu berat memasuki pemakaman untuk sekedar memastikannya sendiri dan hanya berdiam diri didalam mobil diarea parkir sampai akhirnya ia kembali. Sosok yang ia cari cari kini tengah menggendong anaknya berdiri tepat didepan matanya.

Minho masih meraung wajahnya basah dan memerah, hidungnya berair dan sebentar lagi pasti

"Hoekk" Minho batuk dan muntah. Hanya muntah angin, anak itu melanjutkan tangisnya.

Jeno meraih bayi itu, memutar gagang pintu dan kembali menekan bel. Pintu yang langsung terbuka itu menampakkan sosok yang sedari tadi masih berdiri disana.

Tangan mereka bertemu, hanya memegang pergelangan tangan benar benar membuat jantung Jeno tak karuan. Nyata, tangan yang dia pegang benar benar nyata. Jeno menarik Jaemin memasuki apartementnya sendiri. Didudukkan sosok itu disofa tengah. Jaemin sedikit terkesiap dengan gerakan Jeno yang tiba tiba dan sedikit memaksa.

Jeno menyerahkan Minho kedalam pangkuan sosok didepannya, anak itu langsung merangkul kembali pinggang sempit itu dengan tangan gembilnya melesakkan wajahnya didada Jaemin. Suara tangisnya sedikit teredam dan terdengar sisa sisa batuk akibat tangisannya yang terlalu kencang, tangan lentik itu menepuk punggung Minho pelan. Tangisnya mereda.


👻👻👻

Beberapa saat setelahnya, anak itu sudah tertidur pulas dipangkuan Jaemin. Menyisakan dua orang lain disana Jaemin yang duduk di sofa menghadap Jeno  yang terduduk dikarpet dengan punggung yang tersandar rak televisi. Keduanya masih diam tidak ada yang berani memulai percakapan. Jaemin yang sedari tadi salah tingkah bercampur takut karena Jeno yang terus menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca.

"Apa ini masuk akal?" Jeno mengeluarkan suara dengan sisa tenaga yang ia punya.

Tidak ada balasan, susana kembali sunyi. Jaemin benar benar tidak tahu harus mengatakan apa. Karena ia sendiri merasa semua ini tidak masuk akal. Haruskah dia mengaku jika selama ini dirinya gentayangan dan berada disamping suami dan anaknya?

My Ghost Wife | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang