3 | Hanya Tiga Hari

1K 104 17
                                    

Silvia membukakan pintu kamar, wajahnya terlihat sangat sembab ketika Pram menatapnya. Pram tahu betul kalau Silvia memang menyayangi Yvanna selama ini, maka dari itu ia tidak menolak ketika Tio mengajukan dan memperkenalkan Silvia sebagai calon istrinya.


"Wah ... kalau sampai pengantin baru pun meneteskan air matanya, berarti perkara ini bukanlah perkara yang mudah," ujar Pram, yang kemudian masuk ke dalam kamar.

Arini segera memberi ruang untuk Pram agar bisa duduk di samping Yvanna, sementara Larasati langsung memeluk Ayahnya ketika tiba di sampingnya.

"Yvanna, Yah. Yvanna ...." lirih Larasati seraya terisak tanpa henti.

"Iya, Ayah sudah dengar. Ayo, minggir dulu dan duduk bersama Suamimu di sana. Biar Ayah lihat dulu keadaan Yvanna," bujuk Pram dengan lembut.

Larasati pun segera menuruti apa yang Pram katakan. Narendra menyambutnya dan merangkulnya dengan erat. Mencoba memberikan kekuatan untuk istrinya agar tidak semakin terpuruk. Pram memegang tangan Yvanna dan mencoba melihat keadaannya melalui mata batin yang ia miliki. Segala hal yang ada di dalam diri Yvanna saat itu bisa dirasakan dengan jelas oleh Pram.

"Dia benar-benar lemah saat ini. Keadaannya sama sekali tidak menunjukkan akan kembali seperti biasanya. Dengan kata lain, Yvanna saat ini sedang berada dalam kondisi koma jika dijelaskan dalam istilah medis," ujar Pram.

Tangis Larasati pun kembali pecah usai mendengar apa yang dikatakan oleh Pram saat itu. Arini juga sama terpukulnya dengan Larasati, membuatnya terduduk lemas bersama Erna dan Ayuni di sudut kamar tersebut.

"Rahim Yvanna baik-baik saja, meski tadi dia terkena serangan dari makhluk yang diutus untuk merenggut bayi dalam kandungan Naya. Orang yang mengutus makhluk itu adalah seorang penganut pesugihan yang tidak biasa. Dia mengikuti ritual tumbal janin untuk menjadikan dirinya awet muda dan tetap berkarisma meski usianya semakin menua. Dia juga jadi berumur panjang akibat dari merenggut janin-janin korbannya selama ini. Entah apa yang kini terjadi padanya, karena kali ini dia gagal merenggut janin korbannya dan malah melukai Yvanna yang sepertinya tadi mengeluarkan ajian pembalik," jelas Pram atas apa yang dia lihat melalui mata batinnya.

"Lalu, apakah Yvanna akan segera kembali sadar seperti sediakala, Yah?" tanya Narendra dengan suara bergetar.

Pram menarik nafas sedalam-dalamnya sambil bertumpu pada tongkat yang tak pernah dilepasnya. Kedua matanya berkaca-kaca, namun terlihat berusaha untuk tegar.

"Waktu yang Yvanna miliki hanya tiga hari, terhitung sejak hari ini. Jika dalam waktu tiga hari dia masih belum sadarkan diri, maka kita semua harus bersiap untuk mengikhlaskannya," jawab Pram, atas pertanyaan dari menantunya.

"Yah ... tolong jangan bicara begitu. Bantu Yvanna, Yah. Bantu dia ...." mohon Larasati sambil menangis hebat di lantai kamar itu.

"Sabar, Bu. Sabar," bujuk Narendra pada istrinya.

Setetes airmata pun jatuh di wajah Pram meski ia telah mencoba untuk menahannya. Ia menatap begitu dalam pada wajah cucu kesayangannya yang kini terlihat sangat pucat di atas tempat tidur. Semua kilasan tentang Yvanna mendadak berkelebat di dalam pikiran Pram saat itu, seakan ia sedang bernostalgia dengan masa lalu.

"Dia telah berkorban, Laras. Dia telah berjuang dengan keras untuk melindungi seluruh anggota keluarga ini. Ayah tidak bisa membantunya, karena untuk melawan ajian ilmu hitam yang menyerangnya, mengharuskan dirinya sendiri yang memberikan perlawanan. Kita hanya bisa berdoa agar dia bisa bertahan. Namun jika dia akhirnya tidak bisa bertahan, maka kita harus segera mengikhlaskannya untuk pergi," tutur Pram, menahan rasa sedihnya sendiri hingga membuat suaranya bergetar.

Di luar kamar, semua orang mendengar dengan jelas apa yang Pram tuturkan saat itu. Ben menutup kedua matanya dan menyimpan sesaknya dalam diam, sementara yang lain menangis terisak penuh kesedihan, terutama Naya. Tika meremas kotak hadiah yang masih dipegangnya pada saat itu. Airmatanya mengalir, namun tak ada suara isakan yang terdengar dari bibirnya.

"Manda," panggil Tika.

"Iya, Kak," sahut Manda, yang kemudian langsung menyeka airmatanya.

"Keluarkan mobil dari garasi. Kita cari Sasmita Rusdiharjo sampai ketemu. Aku sendiri yang akan mematahkan ritualnya dan akan membuat dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Yvanna," geram Tika, begitu menyeramkan.

Zian--yang berada tepat di sampingnya--menatap tepat pada wajah wanita itu.

"Aku ikut," lirihnya.

"Aku tidak akan melarangmu," balas Tika yang kemudian berjalan ke arah pintu depan menara.

Manda dan Lili mengikuti langkah Tika, yang kemudian disusul oleh Zian, Jojo, dan Aris. Mereka tak ingin ketiga wanita itu berbuat hal konyol setelah apa yang terjadi pada Yvanna. Mereka harus selalu dibimbing agar tetap waras dalam kondisi genting seperti itu.

"Ini salahku. Andai saja aku mendengar apa yang Bibi Erna katakan dan tidak keluar dari kamar, maka mungkin Kak Yvanna tidak akan mengorbankan dirinya demi menyelamatkanku bersama calon bayiku ini," sesal Naya.

"Tidak, Sayang. Tidak begitu. Meskipun kamu tetap berada di dalam kamar, makhluk itu akan tetap keluar dari dalam kotak hadiah yang dipegang oleh Ibu saat tiba di dalam rumah ini. Itu memang sudah diatur demikian oleh si pengirimnya, agar makhluk itu keluar dari sana ketika ada kamu di sekitarnya," ujar Reza, meyakinkan istrinya bahwa bukan dia yang salah.

"Berarti orang bernama Sasmita itu sengaja menjebak Kak Arini dan Kak Laras untuk mengantarkan hadiah itu pada Naya? Berarti dia memang menduga dari awal bahwa Naya akan menerima hadiah itu jika Kak Arini dan Kak Laras yang membawakannya?" duga Bagus.

"Ya, seperti itulah yang aku maksud, Paman Bagus. Hanya saja, orang itu tidak tahu kalau aku dan Kak Yvanna akan mendapatkan firasat tentang rencana jahatnya. Hingga apa yang terjadi pada Kak Yvanna tadi benar-benar di luar dari dugaannya," jawab Reza.

Ben mengepalkan tangannya erat-erat demi menahan emosinya saat itu. Tio, Damar, dan Nania bisa melihat apa yang dia lakukan dengan sangat jelas. Ben mungkin sedang mencoba untuk tidak memperlihatkan kekalutannya di depan banyak orang, maka dari itu tangannya sampai mengepal dengan kuat. Dari sanalah mereka pun akhirnya tahu, kalau saat itu Ben juga merasa sangat takut akan kehilangan Yvanna seperti yang mereka rasakan. Ben tidak hanya sekedar shock akibat melihat bagaimana Yvanna mengalami pendarahan di hadapannya. Ben jelas dipenuhi ketakutan, terlebih setelah mendengar bahwa waktu yang Yvanna miliki hanya tiga hari.

Pram pun keluar dari kamar itu dan berjalan bertumpu pada tongkatnya. Sejenak ia berhenti lalu melayangkan tongkatnya ke arah kaki Ben yang sedang menutup mata. Ben pun membuka matanya dan menatap tepat ke arah Pram.

"Bangun. Ayo antar Kakek ke suatu tempat," titah Pram kepada Ben.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang