12 | Mengatakan Yang Sebenarnya

908 91 1
                                    

Yvanna pun kini menoleh ke arah Ben yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya. Ben tersenyum tipis usai mendengar pertanyaan yang Tika ucapkan di hadapan semua orang. Yvanna bisa melihat senyum tipis itu dan mendadak merasa bahagia.


"Itu benar," sahut Zian. "Ben juga selama satu setengah bulan terakhir selalu berkomunikasi dengan seorang wanita bernama Mentari. Bagaimana hal itu akan berakhir? Apakah Yvanna harus memutuskan hubungan dengan pria bernama Mas Surga dan Ben harus memutuskan hubungan dengan wanita bernama Mentari?"

Arini kini menatap ke arah Larasati dan tampak benar-benar bingung ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dicetuskan oleh Tika dan Zian. Pram masih saja setenang tadi dan Yvanna maupun Ben juga masih saling menatap tanpa beralih sama sekali kepada yang lain.

"Ayah, apakah tidak ada jalan lain? Mungkin Yvanna dan Ben ingin menempuh jalan mereka sendiri. Mungkin mereka merasa bahwa kebahagiaan yang sebenarnya adalah dengan menentukan pilihan hati masing-masing," Narendra mencoba membujuk Pram agar tidak memaksakan permintaannya.

"Ayah mengatakan permintaan agar Yvanna menikah dengan Ben hari ini juga bukan semata-mata karena ingin menjodohkan mereka seperti yang pernah Laras dan Arini lakukan, Rendra. Ayah mengatakan permintaan itu, karena Ayah tahu tujuan yang begitu diinginkan oleh Yvanna maupun Ben saat ini. Semua orang tahu bahwa mereka berdua selalu saja diam dan tak pernah memperlihatkan apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Maka dari itu, Ayah membukakan jalan untuk mereka berdua agar tidak terus-menerus diam dan memendam keinginan masing-masing. Cobalah tanya pada mereka berdua secara langsung, maka kalian akan tahu bahwa tidak ada satu pun keinginan mereka yang lebih kuat daripada keinginan untuk bisa saling melengkapi di dalam hidup mereka saat ini," jelas Pram, sekaligus memberi saran kepada Larasati, Narendra, dan juga Arini.

Larasati dan Narendra segera menatap ke arah Yvanna, sementara Arini kini diberikan jalan oleh Damar dan Aris agar bisa mendekat pada Ben.

"Nak ... coba katakan pada Ibu, apakah kamu akan bersedia jika benar-benar dinikahkan dengan Yvanna? Dan juga tolong katakan, siapa itu Mentari serta apakah kamu memiliki perasaan untuknya atau dia hanya sekedar teman bagimu?" tanya Arini.

Ben masih juga menatap ke arah Yvanna yang kini tengah menatap wajah kedua orangtuanya. Pria itu masih tersenyum, namun kini dengan kedua mata yang berkabut.

"Mentari adalah seseorang yang selalu aku harapkan kehadirannya di dalam hidupku, Bu. Dia adalah sosok pelipur lara dari semua hal yang aku rasakan selama ini. Selama satu setengah bulan ini, aku begitu bahagia dengan kehadiran Mentari di dalam hidupku. Bagiku, dia adalah cahaya yang tidak akan pernah redup dan tidak akan pernah pergi meninggalkan aku meskipun hidupku dipenuhi oleh kegelapan," ujar Ben, menjabarkan tentang Mentari di hadapan semua orang.

Arini jelas merasa kecewa saat mendengar hal itu dari mulut putranya sendiri. Harapannya tentang Ben yang mungkin akan menikahi Yvanna jelas harus sirna untuk yang kedua kalinya. Ia merasa tak berhak menghalang-halangi kebahagiaan Ben, jika Ben memang benar-benar merasa bahagia dengan pilihan hatinya.

"Itulah mengapa aku memberinya nama Mentari pada nama kontak di ponselku. Karena kehadirannya benar-benar menjadi cahaya yang baru dan begitu hangat di dalam hatiku." Ben terdiam sejenak selama beberapa saat. "Mentari itu ... adalah Yvanna, Bu," lanjutnya.

Semua orang mendadak tampak kaget ketika mendengar akhir dari apa yang Ben utarakan mengenai sosok Mentari. Mereka tampak saling pandang satu sama lain, dan seakan ingin sekali ikut mengajukan pertanyaan jika saja tak ada Pram di kamar itu.

"Begitu pula dengan Heaven, atau yang sering disebut Mas Surga oleh Kak Tika, Manda, dan Lili," Yvanna ikut buka suara. "Kenapa aku memilih nama yang berarti Surga untuk menyimpan nomor ponselnya pada ponselku, adalah karena aku memang berharap bahwa sosoknya akan menjadi Surga yang aku harapkan selama ini. Aku tidak peduli dengan apa pun masa lalunya, aku juga tidak peduli betapa sulitnya memahami sosok yang kuhadapi. Aku hanya ingin berlabuh di sisinya jika waktunya sudah tepat. Dan sosok Heaven atau Mas Surga itu adalah Kak Ben. Maaf kalau selama ini aku menyembunyikannya dari kalian semua."

Manda dan Lili hampir saja keceplosan untuk menjerit-jerit bahagia saat tahu kalau sosok Heaven atau Mas Surga yang sering Yvanna hubungi adalah Ben. Sementara Tika yang benar-benar tidak menduga kalau sosok itu adalah Ben hanya bisa ternganga sambil berkacak pinggang di hadapan Yvanna.

"Apa??? Jadi Mas Surga itu adalah Ben? Benar-benar, Ben???" sengit Tika kepada Yvanna.

Silvia segera merangkul Tika untuk menyabarkannya.

"Sudah. Jangan marah-marah hanya karena akhirnya kamu merasa lega kalau Yvanna memilih Ben. Ceramahmu untuknya setiap hari tidak sia-sia, kok," bujuk Silvia.

Tika kini menatap ke arah Silvia dengan dahi berkerut, pertanda sedang merasa heran.

"Kok Kak Silvia santai sekali? Apa jangan-jangan Kakak sudah tahu kalau Mas Surga itu adalah Ben?" tanya Tika.

Silvia pun akhirnya mengangguk pelan seraya tersenyum.

"Ya, aku sudah tahu sejak awal. Bukan karena Yvanna memberitahuku, tapi karena gerak-gerik mereka berdua yang sangat jelas terlihat setiap kali sedang saling berkirim pesan atau sedang menelepon. Jika Yvanna mengirim pesan pada Mas Surga, maka Ben akan segera mengangkat ponselnya dan mengetik balasan. Dan jika Ben mengirim pesan pada Mentari, maka Yvanna akan melakukan hal yang sama seperti yang Ben lakukan. Jadi ... sebenarnya sangat mudah tertebak kalau mereka saling berkomunikasi selama ini dan aku yakin, Kakek pun tahu mengenai hal itu," jelas Silvia.

"Astaghfirullah ... terus kenapa Kakak tidak segera bilang padaku mengenai hal itu? Aku sampai capek berceramah pada Yvanna setiap hari, padahal seharusnya aku tak perlu mengomel jika tahu kalau Mas Surga itu adalah Ben," sesal Tika.

"Kak Silvia mungkin tidak ingin Kak Tika kehilangan pekerjaan tambahan di rumah setelah pulang kerja. Maka dari itu, Kak Silvia diam saja meski tahu bahwa Kak Yvanna dan Kak Ben saling berkomunikasi selama ini," ujar Manda, sengaja memancing emosi Tika.

Tika kini menatap dengan sengit ke arah Manda dan tampak siap menerkam. Kedua wanita itu benar-benar segera berlari keluar dari kamar tersebut untuk berkelahi di luar, sementara para orangtua kini kembali memusatkan perhatian mereka pada Ben dan Yvanna.

"Ayo, keluar semuanya dari sini. Biarkan Yvanna dan Ben berbicara berdua, serta disaksikan oleh orangtua mereka masing-masing," titah Pram.

"Kita enggak boleh lihat, Kek?" tanya Aris.

"Enggak boleh, Nak Aris," jawab Pram.

"Kalau nguping boleh, Kek?" tanya Jojo.

"Kupingmu mau dijahit sekarang juga, Nak Jojo?" tawar Pram dengan santai.

Jojo pun segera menutupi kedua kupingnya dan berjalan menjauh dari kamar bersama Aris, Zian, dan Damar. Arini masih duduk di samping Ben, sementara Yvanna kini duduk di tepian tempat tidur bersama Larasati dan Narendra yang mengapit kedua sisinya.

"Pertama ... aku ingin meminta maaf terlebih dulu kepadamu atas kesalahan yang pernah kulakukan lima tahun lalu," ujar Ben, memulai segalanya dari awal.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang