6 | Yang Sesungguhnya

907 92 8
                                    

Mobil milik Ben tiba kembali di halaman menara milik Keluarga Harmoko. Hal itu bertepatan dengan datangnya mobil milik Tika yang tadi pergi mencari keberadaan Sasmita Rusdiharjo. Ketika Ben membantu Pram turun dari mobil, Tika dan yang lainnya terlihat menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan yang cukup heran. Pasalnya, selama ini Pram sama sekali tidak pernah mau berdekatan dengan Ben, karena apa yang pernah terjadi di masa lalu. Meski Ben tidak lagi memusuhi Yvanna dan kini justru terlihat jauh lebih akrab, Pram tetap saja tidak mau berdekatan dengan Ben. Dan kali itu, mereka semua benar-benar tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi antara Pram dan Ben.


"Kamu dari mana? Mencari Sasmita? Memangnya menurut kalian akan semudah itu menemukan orang seperti dia?" sindir Pram atas sikap Tika yang terkadang terjadi tanpa perhitungan.

Tika pun menundukkan kepalanya.

"Maaf, Kek. Aku terbawa emosi," jawab Tika, pelan.

"Emosi itu boleh saja ada di dalam diri kita, tapi bukan untuk diumbar-umbar tidak jelas seperti yang kamu lakukan. Kamu harus kembali belajar untuk mengendalikan emosimu itu. Jangan sampai disetiap ada masalah, kamu langsung terbang entah ke mana dengan hasil yang nihil," tegas Pram.

"Baik, Kek. Aku akan belajar lagi," tanggap Tika.

Pram pun menatap ke arah Ben.

"Masuklah duluan dan katakan pada Ayahnya Yvanna bahwa Kakek menyuruhmu untuk menemani Yvanna," titahnya.

"Baik, Kek," balas Ben, yang kemudian segera beranjak masuk ke dalam menara.

Pram kembali menatap keenam orang yang baru saja datang bersamaan dengan kedatangannya tersebut. Ia menunjuk gazebo yang ada di samping menara menggunakan tongkatnya, sebagai tanda untuk keenam orang tersebut agar mengikuti langkahnya. Ben tiba di kamar tempat Yvanna berada, Narendra menatapnya sambil mencari-cari keberadaan Pram yang tadi pergi bersama Ben.

"Kakek sedang berbicara dengan Tika dan yang lainnya, Paman Rendra. Beliau memintaku untuk datang ke sini dan memberitahu Paman bahwa Kakek menyuruhku untuk menemani Yvanna," ujar Ben, sesuai dengan apa yang Pram perintahkan.

Narendra pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia mengerti dengan apa yang Ben sampaikan. Larasati--yang masih saja menangis, meski tak sekeras tadi--memberi tanda pada Ben untuk segera duduk di sampingnya agar bisa menemani Yvanna. Ben pun segera beranjak dari posisinya untuk duduk tepat di samping Larasati. Tangan kanan Yvanna terdapat jarum yang terhubung dengan cairan infus yang digantung di samping tempat tidur. Tangan itu begitu dingin, dan Ben bisa merasakan dinginnya meski pada saat itu ia hanya tak sengaja menyentuhnya. Arini datang tak lama kemudian dengan sebaskom air hangat yang dibawanya dari dapur.

"Bagaimana kondisi Naya, Rin?" tanya Larasati.

"Masih menangis seperti tadi, Ra. Dia sangat terguncang dengan kejadian yang menimpa Yvanna," jawab Arini, berusaha menahan tangis.

Hening kembali meraja di dalam kamar tersebut, bahkan Narendra pun tidak banyak berbicara kali ini.

"Seharusnya aku tidak meminta agar kelebihanku ditutup dan diredam. Seharusnya aku tidak egois dan tidak merasa ingin bebas dari tugas. Jika saja kelebihanku masih terbuka, hal ini tidak akan terjadi. Naya tidak akan terancam dan Yvanna tidak perlu berkorban. Aku benar-benar egois di masa lalu, Rin. Hingga akhirnya anak-anakku harus menanggung segalanya," ungkap Larasati, mengenai kelebihannya yang tidak lagi pernah terlihat.

Ben mendengarkan dengan seksama sambil memperhatikan Yvanna. Narendra hanya bisa menghela nafasnya dalam-dalam, karena tampaknya ia sebenarnya tak ingin lagi Larasati membahas masalah itu.

"Ra, setiap manusia itu memiliki titik jenuh di dalam hidupnya. Kamu pun demikian. Kamu mungkin sudah merasa jenuh dengan tugas yang dipercayakan kepadamu, saat kamu memiliki kelebihan itu. Wajar jika kamu ingin menutupnya, kamu mungkin ingin rehat dari tugas yang kamu emban," ujar Arini, tampak jauh lebih mengerti mengenai perasaan Larasati.

"Tapi sekarang semuanya jatuh ke tangan Yvanna dan Reza, Rin. Hari ini Yvanna yang terkena imbas dari hal yang dimilikinya. Lalu, apakah selanjutnya Reza juga akan mengalami hal yang sama? Menurutmu, apakah aku akan sanggup melihat semua itu?"

Arini pun terdiam, tak ada lagi yang dapat ia katakan saat itu untuk menenangkan Larasati. Narendra pun segera membimbing istrinya agar meninggalkan kamar itu, untuk memberikan waktu pada Ben agar bisa menemani Yvanna. Arini menatap ke arah putranya yang kini tengah menatap begitu dalam pada Yvanna dalam diamnya.

"Ibu akan keluar sebentar. Silvia dan Nia mungkin akan butuh bantuan mengurus dapur selama Naya masih menangisi keadaan. Ibu juga akan membujuk Naya agar berhenti menangis," ujar Arini.

"Iya, Bu," tanggap Ben.

Arini pun keluar dari kamar itu tak lama kemudian. Ben masih juga menatap ke arah Yvanna dan sesekali memainkan ujung rambut wanita itu.

"Ponselku sepi," lirih Ben. "Biasanya kamu saat ini sedang balas pesanku ataupun mencoba meneleponku jika aku tidak ada di sekitarmu. Baru beberapa jam Yvanna, dan aku sudah tahu bagaimana rasanya rindu. Aku rindu mendengar suaramu yang datar dan tidak tertebak. Aku rindu ekspresimu yang kadang tidak menentu. Oh ya, apakah aku sudah pernah bilang kalau ekspresimu terkadang tidak sesuai dengan dugaanku? Biasanya jika ada hal yang lucu kamu tidak tertawa dan justru berekspresi bingung. Lalu saat aku menyampaikan sesuatu yang membingungkan, kamu justru berekspresi heran dengan apa yang kusampaikan. Bagiku, hal itu sangat unik. Hal itu menjadi candu yang ingin terus kulihat ketika berhadapan denganmu. Dan sekarang, aku benar-benar rindu padamu."

Ben sangat berharap akan ada balasan atau sekedar tanggapan dari Yvanna seperti biasanya. Namun hal itu jelas tidak terjadi dan semuanya terasa semakin hening di sekitar Ben. Ingin sekali rasanya ia menggenggam tangan Yvanna pada saat itu, namun ia sadar bahwa dirinya tidak boleh menyentuh Yvanna sesuka hati. Ia bukan siapa-siapa dalam hidup Yvanna, hanya sekedar 'teman' yang selalu ditekankan oleh wanita itu jika ditanya oleh Tika atau yang lainnya. Hal itu membuat Ben kembali menangis tanpa suara, membuat sesalnya semakin berkembang tanpa bisa dicegah.

"Kalau kamu memang merasakan sesuatu terhadapnya dan takut kehilangan dia, seharusnya kamu segera menikahi dia dan tak perlu menunda lebih lama," saran Damar, yang sejak tadi ternyata ada di ambang pintu kamar tersebut.

Ben menoleh ke arahnya tanpa menyeka airmatanya lebih dulu.

"Kamu enggak tahu seberapa besar rasa bersalahku terhadapnya, Kak. Aku merasa sangat tidak pantas jika harus langsung menuntutnya untuk menerimaku kembali setelah aku pernah menolaknya tanpa mencoba mengenalinya terlebih dahulu. Kamu tidak tahu, bahwa keinginanku untuk bersanding dengan dia sudah terlalu besar, tapi keinginan itu terus saja terhalang oleh rasa bersalahku. Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa ketika berada di hadapannya. Dia tidak pernah menunjukkan padaku bahwa dirinya marah atas masa lalu yang pernah kutorehkan. Aku merasa terbebani akan hal itu sehingga tidak pernah bisa mengucapkan kata maaf," ungkap Ben dengan jujur.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang