13 | Apa Adanya Saja

931 91 0
                                    

"Aku sama sekali tidak pernah marah pada Kak Ben. Jadi Kakak tidak perlu merasa wajib meminta maaf padaku, atas apa yang pernah terjadi lima tahun lalu. Aku benar-benar sadar mengenai konsekuensi yang akan aku terima pada saat itu ketika menyampaikan firasat yang Reza dapatkan tentang Almarhum Paman Hendri. Itu bukan salah Kakak, itu adalah konsekuensi yang memang harus aku terima," balas Yvanna atas permintaan maaf yang Ben ucapkan.


Ben jelas kembali terdiam, namun kali ini pria itu sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Yvanna. Padahal biasanya ia sering sekali berusaha menghindar agar Yvanna tak bisa menyelami pikirannya melalui tatapan yang wanita itu layangkan. Kali itu, Ben tampaknya memang ingin Yvanna mulai menyelami isi pikirannya agar merasa yakin bahwa Ben tidak main-main dengan perasaan yang dimilikinya.

"Kalau Yvanna memang benar-benar tidak pernah marah pada Ben, lalu apakah tandanya permintaan Kakek agar kalian berdua menikah pada hari ini juga akan terlaksana?" tanya Narendra.

Yvanna kini menoleh ke arah Narendra yang sejak tadi masih berada di sisinya.

"Apakah tidak apa-apa jika aku menikah dengan Kak Ben padahal Kak Tio baru saja menikah dengan Silvia tadi pagi? Bukankah menikah pada hari yang sama di bawah atap yang sama tidak diperbolehkan?" tanya Yvanna.

"Siapa yang tidak memperbolehkan, Nak? Adat istiadat? Keluarga kita 'kan tidak pernah mempercayai adat istiadat manapun meski tetap menghormatinya. Kita hanya perlu percaya kepada Allah dan untuk soal menikah pada hari yang sama di bawah atap yang sama, kita serahkan saja semuanya kepada Allah. Allah jelas tidak mungkin menganggap sesuatu yang baik seperti pernikahan menjadi sebuah keburukan. Tapi kalau kamu tetap merasa ragu, maka pernikahannya bisa dilakukan hari ini namun di atap yang berbeda. Ibu merasa yakin, kalau Kakakmu tidak akan keberatan jika rumahnya dipakai untuk menikahkan dirimu dengan Ben sebelum rumah itu ditempati bersama Silvia," ujar Larasati.

"Intinya," Arini meraih tangan Yvanna dan digenggam dengan lembut, "semua keputusan saat ini ada di tanganmu dan Ben. Tidak ada yang akan menentang keputusan kalian, justru kami semua akan memberikan restu dan keikhlasan jika akhirnya kalian memutuskan untuk menikah."

Keyakinan yang Arini berikan kepada Yvanna jelas benar-benar murni dan dipenuhi ketulusan. Ben jelas tahu bahwa Yvanna adalah satu-satunya wanita yang diharapkan oleh Ibunya untuk mendampingi Ben hingga akhir hayat nanti. Hal itulah yang akhirnya membuat Ben merasa yakin terhadap diri Yvanna, meski selama ini mereka hanya sering saling berdiam diri jika bertemu.

"Bo--bolehkah aku bicara berdua dengan Yvanna, Bibi Laras ... Paman Rendra ...? Kami akan bicara di luar, bukan di dalam kamar ini," pinta Ben.

Arini, Larasati, dan juga Narendra kini saling menatap satu sama lain.

"Tentu saja boleh, Nak. Tapi Yvanna tetap harus sambil diinfus, ya. Karena ... saat ini kami belum benar-benar yakin kalau Yvanna sudah baik-baik saja setelah melewati hal mengerikan tadi siang," ujar Larasati.

"Iya, Bibi. Aku paham akan hal itu. Insya Allah aku juga akan mengawasi infusnya, agar keadaan Yvanna tetap baik-baik saja," janji Ben.

Yvanna dan Ben pun dibiarkan keluar dari kamar itu untuk berbicara berdua di teras belakang. Malam itu semuanya tampak begitu tenang setelah Yvanna tak lagi mengalami koma dan makhluk kiriman Sasmita dikembalikan kepada Tuannya. Ben duduk di kursi yang berbeda dari Yvanna, hanya saja mereka berdua kini saling berhadapan dan hanya terbatasi oleh sebuah meja kecil.

"Aku bisa mendengar suara Kakak dengan sangat jelas tadi, saat diriku masih terkurung di alam bawah sadarku sendiri," ungkap Yvanna.

Ben kembali menatap Yvanna seperti tadi, namun kali ini jarak mereka jauh lebih dekat.

"Kakak bicara padaku soal ponsel Kakak yang sepi, soal aku yang biasanya sedang membalas pesan dari Kakak atau mencoba menelepon Kakak jika aku tidak melihat keberadaan Kakak di sekitarku. Kakak juga mengutarakan soal ... rindu. Aku ... aku bisa mendengar semuanya dengan jelas dari alam bawah sadarku. Tapi aku hanya bisa mendengar suara Kakak, bukan suara yang lainnya. Hanya ketika aku sedang mempersiapkan diri untuk melawan makhluk itu, barulah aku mendengar suara yang lainnya. Itu pun, aku mendengar suara mereka ketika mereka membaca Al-Qur'an di sisiku."

Ben mendengarkan tanpa menyela. Ketika akhirnya Yvanna terdiam, Ben segera meraih tangan wanita itu untuk digenggam dengan erat. Yvanna bisa merasakan betapa hangatnya genggaman tangan Ben pada saat itu, membuat jantungnya berdebar pelan di tengah kesunyian yang meraja di antara mereka.

"Aku punya banyak kekurangan dan aku yakin kamu tahu mengenai semua kekuranganku. Aku jatuh cinta padamu sejak kita kembali bertemu satu setengah bulan yang lalu. Tapi aku jelas tidak berani mengatakannya, karena aku takut akan kamu beri cap sebagai laki-laki paling tidak tahu malu. Aku tidak tahu harus menjabarkannya dengan cara seperti apa mengenai perasaanku terhadapmu, Yvanna. Intinya ... jika kamu tidak keberatan, aku akan melamarmu pada saat ini juga dan memintamu untuk menikah denganku, agar aku bisa selalu ada di sisimu dan tanpa ada satu penghalang pun yang bisa memisahkan kita. Tapi jika ...."

"Aku tidak keberatan, Kak," potong Yvanna dengan cepat.

Kedua insan itu kini sama-sama saling menatap dan genggaman tangan mereka menjadi semakin erat.

"Kita sama-sama tidak suka berbasa-basi. Aku tahu persis bahwa Kakak tidak bisa bertingkah romantis seperti pria lain di dunia ini dan aku tidak akan menuntut jenis keromantisan apa pun dari Kakak. Kakak cukup melamarku apa adanya kepada Ayah, Ibu, dan Kakekku. Lalu mari kita menikah. Aku tidak perlu dibawakan bunga atau hadiah. Cukup nikahi aku sebagaimana yang Kak Ben sanggup. Aku akan menerima Kak Ben apa adanya, jadi tidak perlu memusingkan soal bagaimana cara yang tepat untuk melakukan lamaran dan lain sebagainya yang tidak penting," jelas Yvanna, yang benar-benar tidak ingin Ben terbebani.

Dari balkon lantai atas terdengarlah suara-suara penuh keluhan meski sangat lirih. Pada saat itu Ben maupun Yvanna jelas sadar sepenuhnya, kalau dari tadi pembicaraan mereka berdua tengah didengarkan oleh yang lainnya secara diam-diam.

"Baiklah. Aku akan melamarmu dan menikahimu malam ini juga. Ayo, sebaiknya kita masuk dan bertemu dengan Ayahmu, Ibumu, Ibuku, serta Kakek," ajak Ben.

Yvanna pun menganggukkan kepalanya, lalu segera bangkit dari kursi teras belakang dan mengikuti langkah Ben yang kini membawakan tiang infus dari sisi Yvanna.

"Pasangan satu itu betul-betul tidak ada manis-manisnya sama sekali," gerutu Tika.

"Kakak berharap apa? 'Kan memang sudah dari sananya Kak Yvanna dan Kak Ben itu selalu datar dan diam," ujar Lili.

"Entahlah. Mungkin aku sedikit berharap kalau Ben akan melamar Yvanna dengan cara yang lebih manis, berhubung dia sadar kalau Yvanna adalah Putri kesayangan di rumah ini," jawab Tika, sambil melangkah masuk dengan penuh kekesalan.

* * *

TUMBAL JANINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang