002 - Payung untuk Arundaya

46 6 0
                                    

Happy reading^^

•••

Tiga malaikat kecil itu telah tumbuh menjadi pribadi yang menakjubkan, hiduplah layaknya pohon kelapa yang memiliki banyak manfaat untuk orang lain.
—Pesan dari Bunda

•••


Hanya Alun yang berani menjemputku ke rumah dan sarapan bersama keluarga saking akrabnya, bahkan beberapa kali bapak sangat antusias mendengar ceritanya. Dia memang typekal cowok yang suka banyak cerita, tak heran jika bersamanya tidak akan hening. Selalu ada aja pembahasan atau bahkan lelucon.

"Lun, nggak mau daftar stand up comedy, cocok keknya," sahut kak Banyu di tengah obrolan di ruang tamu, selepas sarapan dia sedang membenarkan jas dan dasinya berbeda dengan Alun yang masih sibuk membentuk dasiku, ya aku tidak cukup rapi dalam membentuk benda itu. "Duh, pengen sih, tapi cita-cita gue jadi chef, masa iya masak sambil stand up comedy?!"

Mereka memiliki humor yang sama, selain usia tidak terpaut jauh keduanya juga satu frekuensi. Bahkan, tak jarang Alun sering main bareng kak Banyu, saking seringnya banyak yang menyangka jika dia bagian dari keluarga kami. Kak Banyu dan Alun memiliki kesamaan saat tertawa dan style rambut mereka yang senada.

"Jadi nilai plus tuh, lo nggak hanya pandai masak, tapi pandai ngelawak siapa tahu lo menang gara-gara buat chef Juna tertawa," timpalnya ngasal sembari mengambil sepatu di rak. "Anjas kelas!!"

"Gue berangkat, titip nih bayik satu jangan lupa bilangin kalau ada orang yang ngasih coklat jangan diterima takutnya diculik dan dijadiin istri om-om." Dengan iseng kak Banyu mengacak gemas rambutku yang sudah tertata rapi. "Kak!!"

Dia malah tertawa renyah, seakan sudah puas menjailiku. Setelah kak Banyu berangkat, kami pun juga hendak berangkat.

"Nih, dasi lo." Alun menyerahkan kain itu kepadaku. "Thanks."

"Untuk senin yang membosankan, semoga hari ini baik-baik saja," tutur Alun, entah untuk apa. Alun adalah satu manusia spesies random.

Sebelum berangkat tak lupa kami pamit ke bunda, karena bapak sudah berangkat. Saat Alun menyalaminya, bunda mengusap punggungnya.

"Sudah tinggi kamu, Lun." Bunda melihatnya bangga, Alun sudah lebih tinggu dari bunda. "Padahal dulu kamu kecil, kurus, pendek ...."

"Bunda ...," rengeknya ingin menghentikan ucapan bunda, sedang hanya suara tawa kecilnya yang terdengar. "Sampai-sampai bunda sama mamamu takut kamu nggak bisa tinggi."

Arundaya adalah sahabat sekaligus tetangga dekatku, dia juga anak dari sahabat bunda. Ya, kita meneruskan tali persahabatan orang tua dan kabar baiknya kita seumuran.

"Buktinya Alun sekarang tumbuh dengan baik karena cinta Mama dan Bunda," sahutnya cukup menggelitik hati, daripada semakin menjadi aku segera menariknya keluar, agar tidak terlambat juga.

"Bunda, kami berangkat assalamualaikum."

"Waalaikum salam, kalau naik motor kecepatan sedang saja, ya?" Senyuman bunda belum juga luntur, ia melambaikan tangan kepada kami yang mulai melesat membelah jalanan. "Baik, Nda."

*****

"Heri!" pekik Alun saat diriku mulai meninggalkan parkiran, sontak berhenti dan menoleh. "Nama gue Hera! Kenapa?"

"Helm lo anjir!" Tersadar akan sesuatu aku pun meringis, suka lupa kalau helm masih terpakai.

Akhirnya aku ke kelas bersama Alun, berjalan beriringan dengan sesekali ia mengomentari lingkungan sekitar. Misalnya kenapa bunga mawar bewarna merah sampai kenapa semut lebih suka gula daripada dirinya padahal dia lebih manis, konyol sekali.

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang