006 - Rekapan Kue Lumpur

20 5 0
                                    

Happy reading^^

•••


—Hera Sandyakala

•••


Kalian pikir setelah dihukum bareng aku bisa hidup dengan tenang? Tidak, setiap kali bertemu Nano ada rasa kesal tersendiri apalagi tatapan Nano selalu tajam saat kita tak sengaja melakukan eye contact.

Sama seperti minggu-minggu sebelumnya pak Umar menjelaskan materi fisika sesekali entah mengapa mataku melihat Nano, menyebalkan.

Setelah pelajaran, ada beberapa pengumuman dari beliau selaku wali kelas XII IPA 1. Pak Umar menyampaikan jika akan ada lomba cerdas cermat dan paduan suara antar kelas sebagai peringatan hari ulang tahun SMA Bumantara.

"Setiap kelas harus mengirimkan delegasi, kalau tidak akan ada sanksi yang harua diterima." Beliau merapikan beberapa buku pegangan guru dan beberapa buku paket lainnya. "Pak, setiap bidang lomba mengirimkan berapa orang?"

"Untuk lomba cerdas cermat tiga itu bebas, sedang untuk paduan suara kira-kira sebelas anak. Nah, untuk tema dan lagu akan dibahas waktu technical meeting, jadi kalian persiapkan orangnya saja dulu, ya." Kami mengangguk, paham.

Setelah pak Umar keluar, barulah aku maju ke depan untuk membahas masalah ini mumpung kelas sudah selesai tinggal waktunya pulang.

"Dibahas di grup kelas, 'kan bisa, Ra!" protes Xabiru, salah satu teman kelas yang tidak sabaran. "Nah, bener menghemat tenaga," tambah Alun malah ikut-ikutan sepertinya ingin menguji emosi.

"Nggak! Kalau dibahas di grup yang nyautin cuma itu-itu aja and then banyak yang keluar topik entar," sanggahku tak mengindahkan saran dari Xabiru.

Untuk mengantisipasi mereka keluar, aku meminta Cesya untuk menjaga pintu. Kalau sudah begitu tidak ada berani yang keluar.

"Ya udah, cepet!" pasrah Xabiru balik ke bangku dengan wajah lesu, maafkan ketua kelas yang kadang galak ini.

Selain Xabiru, semuanya masih di bangku ada yang mengemasi barang-barang ada pula yang makan sisa jajan tadi waktu istirahat.

"Untuk paduan suara mungkin bisa diambil cewek 6, cowok 5. Terus yang lomba cerdas cermat siapa?" tanyaku sembari menulis beberapa anak yang memiliki potensi maupun ketertarikan di bidang suara, kebanyakan diambil dari mereka yang pernah mengikuti ekstra kulikuler paduan suara atau musik.

"Lo, Nano, sama Alun aja gimana? Setuju ye, 'kan?" Suara berasal dari pojok mau tak mau membuatku menoleh, Cesya sedang menyengir setelah mengatakan itu. "Setuju!" Sial, sekelas malah setuju.

"Bener kata Cesya, secara lo ketua kelas, Alun punya wawasan luas terbukti dia sering nanya atau menyanggah nyeleneh pas kita-kita presentasi, dan Nano, 'kan ranking dua kadang juga satu tuh," sahut Xabiru seakan puas melihat wajah datarku. "Nggak! Yang ada lo, Alun, sama Nano."

"He, Heri! Enak banget nunjuk-nunjuk orang!" seru Alun berdecak, tak ayal beberapa anak mengunci tanganku kemudian Cesya menulis nama kami bertiga di papan.

Tidak ada kesempatan untuk protes karena mereka pun telah menulis dan memotretnya kata Cesya sebagai barang bukti. Sebenarnya ogah sekali belajar atau sekadar ngobrol dengan mereka berdua, tapi lomba ini ... entahlah, yang satu kalau ngomong tidak bisa berhenti dan satu lagi kalau ngomong nggak pernah mikir perasaan orang.

"Anjir! Bangke emang Xabiru, lihat ae entar gue bales." Sepanjang lorong sekolah aku hanya mendengar umpatan Alun, dia masih belum terima dijadikan delegasi loma cerdas cermat. "Gue malah PADUS," celetuk Cesya membuat Alun berhenti, kami pun ikut menghentikan langkah.

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang